MENGENAL RAJA DEMAK PATI UNUS (1518-1521)
Pati Unus / Pangeran Sabrang Lor (1480–1521) adalah Sultan Demak kedua
yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah menantu Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Pada tahun 1521,
Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan
oleh adik iparnya, Sultan Trenggana.
Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari
Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh
Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal
1400-an masehi.
Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh
Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari
(wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar
Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M
yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar
Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri
seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang
Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau
adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang
masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden
Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau
Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa.
Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau 逸孫 Yat Sun[1]
(1480?–1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung/menantu Raden
Patah, pendiri Demak. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus
gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik kandungnya, raja Trenggana.[1]
Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor
(sabrang=menyeberang, lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.
Nama aslinya adalah Raden Surya. Dalam Hikayat Banjar, raja Demak yaitu
Sultan Surya Alam telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan pamannya penguasa kerajaan
Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.
Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires menyebut seorang bernama "Pate Onus"
atau "Pate Unus", ipar Pate Rodim, "penguasa Demak". Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M.
C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Ricklefs memperkirakan bahwa
anaknya adalah orang yang dijuluki "Pate Rodim", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun
1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak
atas Jawa.
Kenyataan tokoh Pati Unus berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak
ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546.
Daftar isi [sembunyikan] 1 Silsilah 1.1 Kiprah 2 Ekspedisi
Jihad II 3 Keturunan 4 Kiprah Putra Pati Unus di Banten 5 Kiprah Putera Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan
Timur) 6 Sumber 7 Referensi Silsilah[sunting | sunting sumber] Menurut sebuah riwayat, ia adalah menantu
Raden Patah. Nama aslinya adalah Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah
putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar
ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Silsilah Syekh ini yang bernama
lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di
Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf
Al Mukhrowi (wafat di Parsi) merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad generasi ke 19, ia memiliki ibu Syarifah Ummu Banin
Al-Hasani (keturunan Imam Hasan bin Fathimah binti Nabi Muhammad) dari Parsi (dari Catatan Sayyid Bahruddin Ba'alawi
tentang ASYRAF DI TANAH PERSIA, di tulis pada tanggal 9 September 1979), Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu
Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri
seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang
Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putranya adalah
Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada
perkampungan Muslim. Seorang putranya dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau
terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuannya dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk
ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa.
Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam.
Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri
gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa ia Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunya
adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim
Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya.
Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri
Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putranya yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah
menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini
lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu
Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di
Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.
Kiprah[sunting | sunting sumber] Setelah Raden Abdul Qadir beranjak
dewasa di awal 1500-an ia diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri
Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahirannya sendiri). Karena ayahnya
(Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus
(atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggilnya dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Dari pernikahan ini ia diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putranya yang
merupakan cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang segera mengubah nasib Kerajaan
Demak.
Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia
Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Demak mempererat hubungan
dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau
Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti
yang disebut dimuka adalah ibunya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak
ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.
Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati
Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai
Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan
Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelarnya yang baru adalah Senapati
Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini
dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka
Negara Kretabhumi.
Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini
membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun
1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik
kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih
baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya
sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Pada tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al
Fattah mangkat, ia berwasiat supaya mantunya Pati Unus diangkat menjadi raja Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus
atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan
Parsi menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.
Ekspedisi Jihad II[sunting | sunting sumber] Memasuki tahun 1521, ke 375
kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan
segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putranya (yang masih sangat remaja) dari
pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi (yang juga masih sangat remaja) dari seorang seorang
isteri,anak kepada Syeikh Al Sultan Saiyid ISMAIL, PULAU BESAR, dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab
keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.
Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat
pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan
sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini
sejarah keluarganya akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.
Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis
pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng
Malaka.
Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan
menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas
penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat
hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang
Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun 1521 ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka
(kaum Papia Kristang) hanya terdapat kegagahan Portugis dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513 dan armada
Johor dalam banyak pertempuran kecil.
Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban
kemudian memutuskan mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat
yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih
oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa , Fadhlullah Khan
alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai
Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.
Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan
oleh faktor - faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan - kesultanan Indonesia
Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua,
Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa
untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang
memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu
Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan
hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya
orang Malaya (Melayu).
Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut
masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan
Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan
belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah
atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putrinya yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan
dengan Fadhlullah Khan.
Keturunan[sunting | sunting sumber] Dengan selamatnya putra Pati Unus
yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh Allah hendak melestarikan keturunan para Syahid, seperti yang terjadi pada
pembantaian cucu nabi Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunannya justru menjadi berkembang besar dengan
selamatnya putranya Imam Zaynal Abidin. Bukan kebetulan pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut di atas adalah
keturunan Imam Husayn cucu Nabi Muhammad SAW, karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan Pahlawan besar.
Ketika armada Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden
Abdullah diajak pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para komandan dan penasehat
armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta
mengingat sepeninggal Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi Kesultanan Demak karena Pati
Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati Unus (secara patrilineal) adalah keturunan Arab seperti keluarga
Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan secara
patrilineal (garis laki-laki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit).
Kebanggaan Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam
berbeda dengan sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka dari keturunan Arab seperti
Sultan Cirebon Sunan Gunung jati dan putranya Sultan Banten Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan orang Jawa sebagai bangsa yang
punya identitas sendiri, dengan gugurnya Pati Unus, membuka kembali konflik lama yang terpendam dibawah kewibawaan dan
keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini nyaris mirip dengan gugurnya Khalifah umat Islam ketiga di Madinah, Umar
bin Khattab yang segera membuka kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama saling bertikai di Mekah dan
Madinah.
Sedangkan di tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok dibawah
kepeloporan kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum Muslim Santri di pesisir dengan Muslim Abangan di
pedalaman yang berakibat fatal dengan perang saudara berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.
Kiprah Putra Pati Unus di Banten[sunting | sunting sumber] Sebagian
riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana
Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan
dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara
dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik iparnya) sebagai
penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunannya selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang
putranya Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV
Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih
menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga pamannya sendiri karena ibunya adalah
kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah
kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang
putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi
panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut di atas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak
berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah ia wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan
oleh putra dan cucunya para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan pada zaman Sultan Ageng
Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam, sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan
politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden
Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.
Kiprah Putera Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan Timur)[sunting |
sunting sumber] Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya yaitu yang
dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan
Panembahan Senopati ketika Kerajaan Mataram Islam resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595.
Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas
dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah
Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).
Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah
menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman Priangan Timur. Raden
Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka
yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat
dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena di dalam pasukannya banyak terdapat keturunan
Melayu Malaka.
Raden Surya pada tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II
Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung
Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan
Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada
saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari
Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan
Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari
dinasti Kusumahdinata.
Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi
hingga Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak wilayah termasuk Galuh Islam.
Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden
Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai penasehatnya untuk perluasan wilayah Priangan dan
diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.
Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi
kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat.
Raden Wirawangsa kelak pada tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa
memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal
dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibukota
Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami bergelar Raden
Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah ia pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota
Tasikmalaya.
- Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
Comments
Post a Comment