DATUK BELAMBANGAN, RAJA PERTAMA BATUBARA
Batubara adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Wilayah Batubara didominasi oleh wilayah pesisir pantai yang terletak ditepi Selat Malaka. Wilayah Batubara baru menjadi kabupaten pada tahun 2006 setelah sebelumnya digabungkan dengan Kabupaten Asahan.
Negeri Batubara terbentuk disaat yang bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Batubara disekitar tahun 1676-1680. Sebelum Kerajaan Batubara didirikan diwilayah ini, bisa dibilang wilayah ini tidak memiliki penghuni tetap sehingga belum ada peradaban sebelum era Kerajaan Batubara.
Pada jaman dahulu, meskipun berada di wilayah timur Pulau Sumatera, perjalanan sejarah Batubara lebih berkaitan erat dengan Kerajaan Alam Minangkabau di wilayah barat Sumatera. Wilayah Batubara sangat strategis. Selain berada ditepian Selat Malaka, wilayah Batubara juga berbatasan dengan wilayah-wilayah makmur sejak jaman dahulu kala, seperti Asahan, Simalungun, Deli, dan Pematang Bedagai.
Jika mengacu pada tulisan sejarawan ternama, Hamka, yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke Pulau Sumatera diawali pada abad ke-7, sedangkan penyebarannya mulai merata pada abad ke-12 atau ke-13, maka dipastikan bahwa Kerajaan Batubara berdiri setelah masa Hindu-Buddha dan pada masa Islam sudah menjadi agama utama di Sumatera.
Wilayah Batubara mulanya adalah salah-satu wilayah kekuasaan Kerajaan Simalungun yang menjadi bagian dari Kesultanan Asahan dan dibawahi oleh Kesultanan Aceh. Datuk Belambangan, yang tersasar ke Simalungun saat berburu, diundang sebagai tamu raja Simalungun dan tinggal lama di Simalungun. Beliau kemudian menikah dengan putri raja. Raja Simalungun lalu memberikan wilayah Batubara kepada Datuk Belambangan karena putri raja (istri Datuk Belambangan) sangat menyukai wilayah itu. Inilah mengapa pada jaman dahulu raja-raja kecil di wilayah Batubara meminta legitimasi kepada Yang Dipertuan Pagaruyung dari Kerajaan Alam Minangkabau di Pagaruyung dan kemudian kepada Kesultanan Siak (yang didirikan atas bantuan Kerajaan Alam Minangkabau) ketimbang kepada Kesultanan Aceh yang lebih dekat.
ASAL-USUL DATUK BELAMBANGAN
Raja Belambangan atau Datuk Belambangan adalah salah-satu putra raja Kerajaan Alam Minangkabau. Kerajaan Alam Minangkabau adalah kerajaan yang terletak dibagian barat Sumatera, dan pada masa itu pusat pemerintahannya berada di wilayah Pagaruyung, sehingga kerajaan ini juga kerap disebut Kerajaan Pagaruyung.
Dikatakan, ayah Datuk Belambangan adalah Raja Bujang. Raja Bujang adalah putra Yang Dipertuan Pagaruyung (penguasa utama Kerajaan Alam Minangkabau) saat itu, yaitu Raja Gamuyang. Raja Bujang dan ayahnya, Raja Gamuyang, adalah salah satu dari Tiga Raja Minangkabau (Rajo Tiga Selo) saat itu. Kerajaan Minangkabau saat itu memiliki sistem kerajaan yang unik, yaitu diperintah oleh tiga raja secara bersamaan tetapi memiliki tugas yang berbeda. Raja yang pertama dan utama adalah Raja Alam, atau sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Pagaruyung. Raja Alam adalah kepala nagari (negara) yang mengurus pemerintahan. Raja Alam membawahi Raja Adat (mengurus peraturan adat kerajaan) dan Raja Ibadat (yang mengurus urusan keagamaan Islam). Raja Adat dan Raja Ibadat, yang membantu sultan mengurus kerajaan, adalah jabatan yang dipegang turun-temurun. Sistem Rajo Tiga Selo ini terus bertahan hingga meletusnya Perang Padri (1815).
Kerajaan Alam Minangkabau adalah salah-satu kesultanan yang paling berpengaruh di Sumatera, selain Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Jika dibandingkan dengan Kesultanan Aceh, yang diturunkan oleh Kesultanan Samudra Pasai, dan Kesultanan Siak Sri Idrapura, yang diturunkan dari Kesultanan Johor, Kerajaan Alam Minangkabau memiliki peradaban yang sudah terekam sejak masa Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Alam Minangkabau adalah kerajaan penerus Kerajaan Melayu Dharmasraya yang didirikan oleh Raja Trailokyaraja dari Wangsa Mauli pasca runtuhnya Kerajaan Sriwijaya akibat dilemahkan oleh serbuan Raja Rajendra Chola I (dari Kerajaan Koromandel, India). Kerajaan Melayu Dharmasraya adalah salah-satu kerajaan Sumatera yang tercatat namanya dalam Kitab Pararaton dan dalam berbagai relik dan prasasti yang berhubungan dengan Maharaja Kertanegara dan raja-raja Majapahit. Kerajaan ini jauh lebih tua dari Kerajaan Joseon di Korea, Kekaisaran Ming di Tiongkok, Kekaisaran Rusia, dan dinasti-dinasti Eropa yang kini berkuasa di Inggris, Perancis, dan sebagainya. Kerajaan Melayu Dharmasraya juga sangat terkenal hingga di mancanegara karena memiliki kebudayaan yang maju dan hasil bumi yang melimpah. Akibat perubahan iklim politik di Semenanjung Malaka, Kerajaan Melayu Dharmasraya lalu memindahkan ibukotanya dari wilayah pantai ke wilayah pedalaman Sumatera Barat. Masuknya agama Islam sangat mempengaruhi kebudayaan dan politik di Minangkabau. Lama-kelamaan kerajaan ini mengurangi pengaruh Buddhisme dan menggantinya dengan Islam termasuk dalam penamaan kerajaan, walau beberapa rajanya masih menggunakan nama-nama dari bahasa Sansekerta. Wangsa Mauli tidak berganti, tetapi nama kerajaannya berubah. Kerajaan Melayu Dharmasraya lalu diubah namanya menjadi Kerajaan Alam Minangkabau yang rajanya dipanggil sultan.
Dengan latar belakang seperti itu, tentulah raja Simalungun, yang menjadi tuan rumah saat Datuk Belambangan tiba di Simalungun, merasa sangat terhormat saat menerima Datuk Belambangan sebagai tamu mereka.
PERBURUAN YANG GAGAL
Sebelum pangeran dari Kerajaan Alam Minangkabau ini menjadi penguasa negeri Batubara, beliau tinggal dan dididik didalam istana Kerajaan Alam Minangkabau, Sumatera Barat. Usai mempelajari dan menguasai semua ilmu yang wajib diketahuinya, beliaupun menghadap ayahnya, Raja Minangkabau. Datuk Belambangan memohon pada ayahnya agar diijinkan meninggalkan istana untuk pergi berburu rusa untuk melengkapi kebanggaannya sebagai seorang pangeran. Raja mengabulkan permohonan putranya, dan berangkatlah Datuk Belambangan bersama dengan serombongan pengawal, juga beberapa sahabatnya.
Rombongan sang pangeran meninggalkan negerinya dengan menyusuri pesisir pantai, lalu melintasi hutan belantara dan wilayah pegunungan. Namun, belum ada rusa yang terlihat. Walau mereka sudah kelelahan tapi pantang bagi Datuk Belambangan dan rombongannya untuk pulang sebelum mendapatkan hasil buruan.
Akhirnya, terlihatlah oleh Datuk Belambangan, seekor rusa. Datuk Belambangan dan rombongannya memburu rusa itu dan berusaha menangkapnya. Namun, rusa itu mampu melarikan diri sehingga menyebabkan Datuk Belambangan dan rombongannya terpaksa terus melanjutkan peburuan. Perburuan itu membuat Datuk Belambangan dan rombongannya tidak mengetahui waktu dan tempat mereka.
Tiba-tiba, terlihatlah oleh mereka sebuah perkampungan. Oleh orang yang mereka temui dijalan, mereka mendapat informasi bahwa mereka berada di Negeri Simalungun. Setelah mengetahui bahwa yang dihadapan mereka adalah seorang pangeran, maka dihantarkanlah Datuk Belambangan dan rombongannya ke istana salah-satu Raja Simalungun, kemungkinan dari klan Damanik atau klan Sinaga.
Raja Kerajaan Simalungun menyambut Datuk Belambangan dan rombongannya dengan gembira dan mendengar dengan penuh minat mengenai perkembangan Kerajaan Pagaruyung termasuk kabar dari Raja Pagaruyung dan seisi istana, dan juga tentang cerita perburuan Datuk Belambangan. Setelah mendengar cerita tentang perburuan yang gagal, raja Simalungun meminta agar Datuk Belambangan dan rombongannya tinggal sementara waktu di Negeri Simalungun. Tawaran itu disetujui oleh Datuk Belambangan dan dinilai bijak oleh rombongannya.
Keberadaannya Datuk Belambangan di Simalungun berawal sebelum tahun 1680.
MENJADI ANGGOTA KELUARGA KERAJAAN SIMALUNGUN
Datuk Belambangan tinggal cukup lama di Simalungun. Rupanya beliau menaruh hati pada putri raja Simalungun. Datuk Belambangan lalu menghadap Raja Simalungun dan mengutarakan perasaannya, juga meminang putri raja untuk dijadikan istri. Raja Simalungun rupanya juga berharap agar pangeran dari Pagaruyung itu dapat menjadi menantunya. Rajapun menikahkan putrinya dengan Datuk Belambangan. Rakyat Simalungun bersuka-cita, dan rombongan pangeran juga memandang pernikahan itu baik adanya.
Putri raja Simalungun bermarga “Damanik”, sesuai dengan marga ayahnya. Menurut kebiasaan Simalungun saat itu Datuk Belambangan juga harus memakai marga dari Simalungun. Maka, raja Simalungun memberikan marga pada Datuk Belambangan yaitu marga Sinaga.
Pemberian marga Sinaga pada Datuk Belambangan ini menunjukkan bahwa seluruh raja di Simalungun saat itu sangat menghormati Datuk Belambangan dengan latar belakang Pagaruyung-nya, sebab saat itu marga Sinaga adalah salah satu marga tertinggi disana.
Sistem aristokrasi di Simalungun saat itu sangat ketat dan mewajibkan semua rakyat memiliki marga yang mengikuti marga raja dimana mereka tinggal. Ada empat kerajaan kecil di Simalungun yang juga dipimpin oleh empat raja dengan marga yang berbeda, yaitu Damanik, Saragih, Sinaga, dan Purba. Menurut catatan-catatan tua Simalungun, daerah Simalungun, adalah kerajaan tertua di Sumatera Timur. Marga Damanik adalah marga tertua dan yang paling pertama datang di Simalungun (Proto-Simalungun), yang diperkirakan berasal dari Nagore, India Selatan. Leluhur klan ini tiba di Simalungun pada sekitar abad ke-5 M setelah sebelumnya menempuh perjalanan dari India Selatan melewati Myanmar, menyebar ke Siam dan juga membawa orang-orang dari Siam, kemudian menuju Malaysia, hingga kemudian tiba di Sumatera. Setibanya di Simalungun, klan Damanik mendirikan Kerajaan Nagur (sesuai nama wilayah asal di India).
Kerajaan Nagur ini adalah nama lama wilayah Simalungun. Klan Saragih adalah marga kedua datang di Simalungun, yang juga diperkirakan berasal dari Nagore, India Selatan. Leluhur klan ini tiba di Simalungun pada sekitar abad ke-5 M. Setibanya di Simalungun, pemimpin klan Saragih bersama dengan pemimpin-pemimpin klan Purba dan klan Sinaga mengabdi pada Kerajaan Nagur, yang didirikan oleh klan Damanik, sebagai panglima. Ketiga panglima ini menjadi menantu Raja Damanik, dan raja pun menyerahkan wilayah untuk diatur oleh ketiga menantunya ini yang kemudian menjadi Kerajaan Banua Sobou (dipimpin oleh klan Saragih) yang kemudian dikenal dengan nama “Kerajaan Raya” atau “Kerajaan Pematang Raya”, Kerajaan Banua Purba (dipimpin oleh klan Purba) yang kemudian dikenal dengan nama “Kerajaan Silou” atau “Kerajaan Dolok Silou”, dan Kerajaan Saniang Naga (dipimpin oleh klan Sinaga) yang kemudian dikenal dengan nama “Kerajaan Batangiou” dan kemudian berganti lagi menjadi “Kerajaan Tanoh Jawa”. Kerajaan Nagur yang didirikan klan Damanik adalah pendahulu Kerajaan Siantar.
Klan Sinaga sebenarnya juga datang dari India bersama dengan tiga klan lainnya pada abad ke-5 M. Tetapi, menurut cerita turun-temurun di Simalungun, klan Sinaga lama yang mendirikan Kerajaan Saniang Naga (dikenal juga dengan nama Kerajaan Batangiou) dikalahkan oleh keturunan seorang jenderal Jambi yang tiba pada abad ke-14 saat Kerajaan Majapahit menyerbu Sumatera. Setelah klan Sinaga lama ini kalah maka keturunan jenderal Jambi, yang juga mengaku bernama Sinaga, lalu mendirikan Kerajaan Tanoh Jawa.
Keempat kerajaan ini sepakat tidak saling menyerang satu sama lain dalam suatu perjanjian yang bernama “Harungguang Bolon”. Untuk membedakan keluarga bangsawan dan keluarga rakyat, maka marga yang diambil oleh masing-masing penduduk akan digolongkan ke beberapa golongan, dengan empat marga itu tetap menjadi marga utama dan yang statusnya paling tinggi. Jika saat itu Datuk Belambangan diberi marga dari salah-satu empat marga tinggi itu maka artinya beliau diakui sebagai salah-satu kerabat raja.
Mengenai siapakah raja yang menerima Datuk Belambangan di istananya tidak diketahui pasti, tetapi ada beberapa kemungkinan jika mengacu pada adat-istiadat di Simalungun saat itu. Mungkin Datuk Belambangan pertama kali bertemu dan tinggal di istana raja dari klan Sinaga, sebab marga Sinaga-lah yang diberikan pada Datuk Belambangan, sedangkan istrinya berasal dari marga Damanik. Tapi, bisa jadi juga Datuk Belambangan sejak awal kedatangannya di Simalungun sudah tinggal di istana raja dari klan Damanik dan sering bertemu dengan putri raja Damanik. Karena sebisa mungkin setiap wanita Simalungun harus menikah dengan pria Simalungun atau membawa marga dari Simalungun, dan juga pernikahan se-marga adalah tabu, sedangkan Datuk Belambangan belum memiliki marga dari Simalungun, maka raja Simalungun dari klan Damanik meminta raja dari klan Sinaga untuk menjadikan Datuk Belambangan sebagai anak angkatnya sehingga Datuk Belambangan bisa mendapatkan marga Sinaga, yang saat itu merupakan marga bangsawan tinggi di Simalungun. Menurut permargaan di Simalungun, Keturunan Datuk Batubara yang menikah dengan pria marga Damanik dari Simalungun berada dalam klan Damanik Bariba.
Pernikahan Datuk Belambangan dan keberadaannya di Simalungun terjadi sekitar tahun 1676-1680 (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 28, 2010).
Tidak lama setelah menikahi istrinya dari klan Damanik, istri Datuk Belambangan-pun hamil. Saat itu, istrinya sangat ingin melihat pantai. Datuk Belambangan lalu menghadap kepada ayah mertuanya dan mengutarakan permintaan istrinya yang ingin sekali melihat laut dan pantai. Sang raja yang paham betul bahwa putrinya sedang mengidam, memberi ijin pada mereka untuk pergi ke daerah pesisir pantai, dan bahkan memberikan segala kebutuhan putri dan menantunya beserta rombongan mereka seperti perbekalan dan juga pengawal. Datuk Belambangan dan istrinya pun berangkat ke pantai yang masih berada dalam wilayah Simalungun, dan yang dianggap paling indah. Rombongan Datuk Belambangan dan istrinya yang terdiri dari orang-orang asal Minangkabau dan Simalungun kemudian berangkat menuju ke pesisir pantai yang menjadi bagian dari wilayah yang kini dikenal sebagai Negeri Batubara.
Setibanya mereka di wilayah Batubara, mereka langsung mendirikan pemukiman di tepi sungai didekat muara. Pemukiman yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini dinamakan “Kuala Gunung” (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 29, 2010). Datuk Belambangan bermaksud untuk membuat pemukiman ditempat itu sebagai tempat tinggal tetapnya dan juga ingin membangun daerah itu menjadi sebuah negeri baru. Sang istri juga rupanya mendukung keinginan suaminya. Seluruh rombongan-pun mendukung keinginan dari Datuk Belambangan. Datuk Belambangan lalu mengutus utusan kepada Raja Simalungun untuk menyampaikan keinginan Datuk Belambangan dan istrinya agar bisa menetap didaerah baru itu. Usai mendengar pesan dari putri dan menantunya, rajapun memanggil para penasehatnya dan meminta pendapat para kaum cendekia dinegerinya. Para penasehatnya memandang bahwa keinginan dari putri dan menantu raja adalah baik dan tidak akan menyusahkan Kerajaan Simalungun. Setelah mendengar masukan dari para penasehatnya, maka raja Simalungun lalu mengirim pesan kepada putri dan menantunya bahwa sang raja menyetujui permohonan putri dan menantunya. Raja Simalungun lalu mengirimkan perlengkapan dan semua yang dibutuhkan oleh putri dan menantunya beserta rombongan mereka melalui utusan yang dikirimnya, dan juga mengirim serta rakyatnya yang tertarik untuk menetap dinegeri baru itu dan bersedia menjadi rakyat dari Datuk Belambangan.
Menurut legenda, tidak lama setelah titah pembangunan negeri baru itu diucapkan oleh Datuk Belambangan, dan juga ketika pembangunan itu masih terus dilaksanakan, berkumpulah rakyat negeri yang baru itu dan menghadap Datuk Belambangan. Rakyatnya itu meminta Datuk Belambangan itu menjadi raja dinegeri yang baru itu.
Entah bagaimana Kedatuan Batubara bisa resmi terbentuk, tetapi yang pastinya berdirinya kedatuan baru itu sudah direstui atau malah diprakarsai oleh pihak Simalungun, dengan restu dari Kesultanan Asahan sebagai kesultanan yang membawahi wilayah Simalungun. Cerita-cerita rakyat yang beredar menceritakan bahwa raja Simalungun mendukung penuh pendirian kedatuan baru itu dan merestui Datuk Belambangan sebagai penguasa Batubara.
Wilayah baru ini dinamakan “Batubara” sebab menurut cerita rakyat, pada awal pembangunan pemukiman dan awal pemerintahan di wilayah itu, rakyat menemukan banyak sekali batu-bara. Dalam legenda diceritakan bahwa seorang hulubalangnya yang ditugasi untuk mengawasi penggalian sumur, datang dan berteriak sambil menggenggam batu yang hitam warnanya, sambil berkata, “ini batu yang bisa menyala dan membara, batu bara....” Bukan hanya sebongkahan batu saja, tapi ditemukan banyak sekali batu hitam yang serupa dihampir disetiap sumur yang digali. Legenda-pun merekam titah Datuk Belambangan, “Mari kita namakan saja negeri ini sebagai Negeri Batu Bara, karena ada banyak batu yang bisa membara yang ditemukan disini,” dan mengumumkan pada rakyatnya bahwa nama negeri itu adalah Negeri Batubara.
Wilayah Kuala Gunung, yang menjadi wilayah pemukiman pertama, lalu menjadi pusat pemerintahan pertama kedatuan di Batubara dan baru berubah setelah kematian Datuk Belambangan.
Rombongan Datuk Belambangan yang mendatangi wilayah Simalungun pada sekitar tahun 1676-1680 diakui sebagai rombongan pertama. Datuk Belambangan tinggal lama di wilayah Simalungun dan Batubara, dan semasa itu beliau belum pernah kembali lagi ke kampung halamannya di Pagaruyung. Tidak begitu lama setelah Kedatuan Batubara didirikan secara de facto, istri Datuk Belambangan memasuki waktu bersalin. Sang permaisuri berhasil melahirkan seorang bayi perempuan. Dikatakan bahwa putri Datuk Belambangan ini tumbuh menjadi gadis yang cantik, hingga kemudian utusan-utusan ayahnya dari Pagaruyung tiba.
Tidak diketahui kapan pastinya rombongan kedua ini tiba. Jika mengacu pada usia akil balig putri Datuk Belambangan, sesuai dengan tradisi pada masa itu, yang menginjak usia 16-18 tahun saat rombongan kedua itu tiba di Simalungun dan kemudian di Batubara, maka itu artinya Datuk Belambangan menerima rombongan kedua yang adalah utusan-utusan ayahnya sekitar tahun 1692-1698.
Dalam rombongan kedua dari Pagaruyung itu, selain ada beberapa tetua dan juga hulubalang, turut serta juga empat pemuda bangsawan dari Pagaruyung. Keempat pemuda ini termasuk dalam kelompok yang tidak ikut kembali ke Pagaruyung mengikuti kepulangan utusan-utusan dari rombongan kedua dan beberapa anggota rombongan pertama yang dulu berburu bersama-sama dengan Datuk Belambangan sebab beberapa orang dari rombongannya dulu rupanya begitu rindu pada kampung halamannya sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke Pagaruyung. Ada beberapa orang dari rombongan kedua, termasuk keempat pemuda itu, yang diperintahkan tinggal oleh pemimpin rombongan kedua dengan maksud membantu Datuk Belambangan dan membangun Kedatuan Batubara. Keempat pemuda itu adalah Datuk Jenan, Datuk Paduka Raja, Datuk Panglima Muda, dan Datuk Ayung.
Keempat pemuda dari Pagaruyung yang tinggal dinegeri Batu Bara mulai melakukan tugas-tugas mereka untuk menjadi abdi raja. Karena mereka adalah orang-orang kepercayaan raja dan juga kerabat dekat Baginda Raja Batu Bara, maka Datuk Belambangan menerima lamaran mereka saat mereka meminang putri-putri raja. Karena Datuk Belambangan hanya memiliki seorang putri maka dia mengangkat tiga orang putri sebagai anaknya dan menikahkan mereka dengan para pemuda itu. Agar tidak terjadi perebutan kekuasaan di wilayahnya, seperti yang sebelumnya terjadi di Pagaruyung, Datuk Belambangan membagi wilayah kekusaannya menjadi empat wilayah, sesuai dengan jumlah anak-anaknya, dan menyerahkan pemerintahan empat wilayah itu kepada menantu-menantunya. Sepeninggal Datuk, pusat pemerintahan-pun sudah tidak berada di Kuala Gunung lagi melainkan terbagi di empat wilayah yang sudah dibagi tadi.
Datuk Belambangan meninggal diusia tua dan dimakamkan di Kuala Gunung. Letak makamnya berada di Kecamatan Lima Puluh, Batubara, Sumatera Utara. Makamnya dinamakan “Kubah Keramat Tok Batubara”.
Sumber: http://deleigeven.blogspot.com/2017/06/datuk-belambangan-raja-pertama-batubara.html
- Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
Comments
Post a Comment