Sejarah Demarkasi Gebang Pangkalan Berandan

Seperti yang diungkapkan oleh H. ABDURRAHMAN, dalam kancah perjuangan dimasa menjelang kemerdekaan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, menceritakan tentang perjuangan seorang yang ulet dan gigih bernama HASAN PERAK (Orang Tua H.Syamsul Arifin, SE mantan Gubernur Sumatera Utara), yang terlibat dalam pertempuran di Front Gebang.

Tugu di Batas Demarkasi Gebang


Pada tahun 1947 Pemuda HASAN PERAK, sebagai Kepala Regu Batalyon V, Divisi 10, mendapat perintah dari komandannya Sanger, dari Pasukan Harimau Liar untuk Melatih para Pemuda Laskar Pejuang Langkat Area di Pangkalan Berandan.
Front Gebang adalah front yang sangat menantang pada masa perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia, dan Pemuda HASAN PERAK ikut mempertahankan garis depan yang kala itu disebut ”The Last Frontier” pertahanan terakhir, dipertahankan dengan semangat pantang menyerah ”Freedoom or Die” Merdeka atau Mati.
Disebut ”The Last Frontier”, karena jaraknya hanya 11 km dari Kilang Minyak Pangkalan Berandan, dan 20 km dari kota Tanjung Pura yang telah diduduki tentara Sekutu dan NICA Belanda. Sementara, pasukan-pasukan berani mati yang telah terseleksi terdiri dari barisan-barisan laskar rakyat, menyatu di Batas Demarkasi Gebang, dalam satu komando membangun Benteng sebagai pertahanan terakhir, menunjukkan tanda ”STOP” kepada Agressor Belanda yang ingin mencaplok Kilang Minyak di Pangkalan Berandan, mereka mengultimatum kepada musuh ”Masuk Berarti Mati”.

Sersan Mayor HASAN BASRI (Kepala Regu Batalyon V / Divisi-10


Pertahanan garis depan ini membentang sepanjang daerah Barat Laut Pangkalan Berandan arah Tanjung Pura. Tepatnya sebelah selatan Pangkalan Berandan sekitar Sei Lepan hingga ke pesisir pantai.
Menghadapi persenjataan lengkap Agressor Belanda, pemuda-pemuda pejuang kita mengambil langkah strategis dengan membuat perangkap untuk melewati sektor ini harus melalui rawa-rawa, paluh-paluh dan aliran sungai yang diatasnya membentang jalur pipa milik TMSU-RI, yang setiap saat jika dibutuhkan bisa menyalurkan bahan bakar minyak untuk ditumpahkan menggenangi permukaan air, dengan percikan api yang bisa merubah Paluh dan anak sungai menjadi lautan api, mampu mengepung musuh mati terperangkap.
Usaha ini cukup efektif, jika Belanda sampai ke Jebakan tersebut, maka permukaan air yang digenangi minyak dinyalakan melalui lemparan obor atau tembakan mortir, api akan menjulang tinggi dan Belanda tidak berani merobos Blokade.

Pasukan Pejuang meng-ultimatum kepada Musuh ” Masuk Berarti Mati ”.


Disebutkan oleh H. Abdurrahman, Pemuda HASAN PERAK yang pada waktu itu berpangkat Sersan Mayor termasuk pelaku sejarah Peristiwa Pembumi hangusan Tambang Minyak Sumatera Utara di Pangkalan Berandan, pada 13 Agustus 1947. Mengapa harus di Bumi Hanguskan ? Jika seandainya Pangkalan Berandan mangalami nasib yang sama seperti Kota Binjai, Stabat dan Tanjung Pura yang telah dikuasai musuh, apakah akan dibiarkan Tambang Minyak itu utuh dan jatuh ketangan Musuh ?.

Jebakan Api di Front Gebang


Sudah tentu jawabannya, tidak mungkin .. !! sebab didalam perang, siapa yang hebat dialah yang dapat menguasai dunia, dan karena itu Komando KSBO (Komando Sektor Barat Oetara) menetapkan Tambang Minyak harus di Bumi Hanguskan.
Sementara komando KSBO dibawah pimpinan KOLONEL HASBALAH HADJI mengadakan penyiasatan tentang keadaan seluruhnya, penyiasatan ini telah sampai kepada pembahasan mengenai terjadinya penyerangan musuh, yang antara lain diperhitungkan :

Pasukan Belanda di Tepian Sei Batang Serangan


  • Jika Belanda menumpahkan seluruh kekuatannya menyerbu benteng pertahanan kita yang ada di Front Gebang, dengan mendapat perlindungan Pasukan Kavaleri, Artileri dan mengerahkan pula Angkatan Udaranya, kepastiannya pertahanan kita akan hancur, sebab kekuatan kita tidak seimbang dan pasukan musuh dapat maju terus untuk menguasai Tambang Minyak Pangkalan Berandan.
  • Dalam pada itu keraguan musuhpun ada, karena sudah dicobanya pada Agresi tanggal 23 Juli 1947 yang lalu bahwa Pasukan Belanda yang melakukan serangan ke Jurusan Sumatera Timur dapat menjangkau sejauh 250 km, akan tetapi ke Jurusan Barat Utara Sumatera Timur hanya dapat dikuasai sejauh 50 km saja. Dan jika penyerangan itu diteruskan oleh Pasukan Belanda, dapat dipastikan korban akan bertambah banyak di Pihak Belanda, berhubung jalan sepanjang menuju Pangkalan Berandan banyak dipasang Ranjau Darat oleh Pasukan Pejuang Republik, karena sebelumnya juga pernah terjadi beberapa kali korban di Pihak Belanda yang mencoba menerobos masuk ke wilayah yang dikuasai para pejuang menuju ke Pangkalan Berandan terlindas ranjau darat yang dipasang Pasukan Pejuang dibelakang garis pertahanan musuh.
  • Memperhatikan akan letaknya medan pertempuran ini, besar kemungkinan Belanda akan menyerang dan menggunting pertahanan kita dari belakang dengan menerjunkan Pasukan Payung-nya di Komplek Tambang Minyak serta mendaratkan Pasukannya lewat laut di Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu, karena aba-abanya telah di dapat dari Pesawat Udara Belanda ”Catalina” dan disaat perdaratan tersebut maka pertahanan kita di Front Gebang akan digempur terus menerus yang seolah-olah pasukan mereka akan masuk dari jurusan depan Front kita.
Maka dibahas pula, bagaimana dengan Tambang Minyak seandainya Pangkalan Berandan juga terpaksa mengalami nasib yang sama seperti Kota Binjai, Stabat dan Tanjung Pura, apakah akan dibiarkan Tambang Minyak itu utuh dan jatuh ketangan musuh ??.
Sudah tentu jawabannya, tak mungkin sama sekali, sebab didalam perang, siapa yang dapat menguasai minyak maka dialah yang dapat menguasai Dunia, dan justru karena itu Komado KSBO menetapkan Tambang Minyak harus di BUMI HANGUS kan .. !

Rakyat Pangkalan Berandan Mengungsi


Pada tanggal 11 Agustus keluarlah maklumat resmi PMC Pangkalan Berandan yang ditanda tangani oleh Mayor NAZARUDDIN, ditujukan kepada seluruh Penduduk Pangkalan Berandan tidak ada kecualiannya, supaya selambat-lambatnya pada Malam hari tanggal 12 Agustus 1947 sudah harus meninggalkan kota Pangkalan Berandan sejauh 3 km dengan membawa seluruh harta benda bergerak, barang berharga serta menyelamatkan segala sesuatunya yang masih bisa dapat diselamatkan. Maklumat itu juga dikirimkan kepada segenap Badan-badan Resmi organisasi Masa Politik dan kepada Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantau (Chun Hua Chun Hui) di Pangkalan Berandan.

Berandan Bumi Hangus, Rakyat Mengungsi


Pemerintah menyediakan pengangkutannya, dan untuk ini telah dibentuk panitianya yang di Pimpin oleh PATIH SUTAN NAPOSO PARLINDUNGAN, yang bertugas antara lain menyiapkan Kereta Api khusus dan Truk-truk Gerobak untuk mengangkut para Pengungsi ke Daerah BESITANG.
Penduduk Bangsa Indonesia mematuhi akan maklumat PMC itu, lalu dimulai pada pagi hari tanggal 12 Agustus 1947 rakyat Pangkalan Berandanpun mulai mengungsi dengan berbondong-bondong dan berkelompok-kelompok, diantaranya ada yang mencari perlindungan di Sekitar Perkebunan Alur Dua, Tangkahan Durian sekitarnya. Dan tidak sedikit pula yang meneruskan perjalanan mengungsi ke Desa Bukit Kubu Besitang, Sumedam, Kuala Simpang dan Langsa.

Jembatan Seii Lepan sebelum diledakkan


Sebaliknya pada waktu Penduduk Indonesia sibuk mengungsi meninggalkan Kota Pangkalan Berandan, penduduk Warga Tionghoa, pada umumnya tidak turut mengungsi meninggalkan kota, hanya 11 orang saja Warga Tionghoa ikut mengungsi ke Langsa bersama-sama dengan arus pengungsi rakyat Indonesia, mereka sempat membawa harta benda mereka yang bergerak, selebihnya sebanyak lebih kurang 5.000 orang masih tetap bertahan di Kota Pangkalan Berandan. Karena Ketua Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantauan yang merupakan pimpinan mereka, melarang mereka meninggalkan kota.
Ketua Perkumpulan Tionghoa itu dalam waktu singkat dapat mengumpulkan uang dari Penduduk Tionghoa Pangkalan Berandan untuk menyuap Perwira yang bertanggung jawab supaya Pangkalan Berandan jangan di Bumi Hanguskan. Dengan demikian mereka akan dapat dengan tenang berada didalam kota, walaupun kelak Tentara Belanda memasuki kota Pangkalan Berandan, karena menurut mereka merasa diri mereka adalah netral dan senantiasa dapat menerima dan bekerja sama dengan siapa saja yang berkuasa didaerah tempat tinggalnya. Dan diantara warga Tionghoa ini telah mempersiapkan Bendera tiga warna didalam rumahnya untuk menyambut kedatangan Tentara Belanda, dan hal ini diketemukan dikala dilakukan razia terhadap rumah-rumah warga Tionghoa di Pangkalan Berandan pada tanggal 26 Juli 1947.

Pasukan Belanda bersiap untuk menyerang Pangkalan Berandan


BACA JUGA: Sejarah Awal Mula Kota Pangkalan Susu
Upaya upaya Pimpinan Gabungan Perkumpulan Tionghoa Perantauan (GPTP) hendak melakukan penyuapan terhadap para perwira yang bertanggung jawab atas pelaksanaan Pem-BUMI HANGUS-an menemui kegagalan. Dari peristiwa ini hendaknya GPTP dapat menarik kesimpulan yang tegas bahwa Kota Pangkalan Berandan memang pasti akan dibakar Musnah, dan oleh karena itu Pimpinan GPTP segera memerintahkan para Anggotanya untuk mengungsi meninggalkan kota. Namun tidak dilakukannya sehingga para Warga Tionghoa tetap berada di Dalam Kota dan tidak mengabaikan pengumuman pemerintah Militer yang sudah berlaku, Negara dalam keadaan bahaya, apalagi jiga bahaya yang bakal timbul terjadi pertempuran didalam kota itu sendiri.
Kesimpulan, dalam hal pembumi hangusan ini bagi angkatan perang kita bersama rakyat, keraguan apapun tidak ada yang menghalangi lagi, karena kewajiban dan perintah tersebut berlandaskan dan bersumber dari instruksi Pimpinan Pemerintah RI dan Pimpinan tertinggi Angkatan Perang RI dan juga dari Panglima Besar TNI Jendral SOEDIRMAN yang isinya :
  1. Pidato perjuangan dari Menteri Luar Negeri RI H. AGUS SALIM membakar semangat juang bagi Daerah Komando Sektor Barat Oetara (KSBO) : ” Lebih baik bangsa Indonesia membakar musnah seluruh negeri, daripada dijajah kembali ”.
  2. Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi ABRI dengan Pidatonya yang berapi-api menyampaikan pesan ” WIEN GEEN VLEUGLS MOET KRUIPEN ”.
  3. Perintah Panglima Besar Jendral SOEDIRMAN :
  • Jangan bersikaf deffensif menghadapi Belanda
  • Lakukan serangan mendadak, kemudian menghilang dan mundur
  • Jika musuh menyerag, lakukan pembumi hangusan
Langsung ataupun tidak langsung hal ini yang menjadi dasar pokok, yang dijadikan dasar perintah melahirkan perhitungan perhitungan luar dan dalam negeri, baik situasi ekonomi bahkan strategi politik. Suatu momentum yang tidak disangkakan, akan tetapi cermat di estimasikan bahwa Bumi Hangus Tambang Minyak dan Kota Pangkalan Berandan itu tetap dilaksanakan pada tanggal 13 Agustus 1947, melandasi argumentasi politik bahwa pada tanggal 14 Agustus 1947 keesok harinya Perdana Menteri SUTAN SJAHRIR akan menyampaikan pidatonya didepan Sidang Dewan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memberikan kesan kepada Dunia, bahwa Belanda bersikeras hendak memaksakan penjajahannya di Indonesia, akan tetapi Republik Indonesia dengan gigih dan habis-habisan memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaannya.


Tanggal 13 Agustus 1947, Tambang Minyak Pangkalan Berandan diledakkan


KSBO selanjutnya membentuk 4 Pasukan Pioner dengan Tugas membumi hanguskan semua instalasi dan bangunan Perusahaan Tambang Minyak di Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu, dipimpin oleh :
  1. Letnan Satu USMAN AMIN
  2. TENGKU NURDIN
  3. UMAR HUSNI
  4. M. YUSUF SUKONY
Tugas pasukan tersebut antara lain :
  1. Memindahkan mesin-mesin minyak dari pondasinya untuk dibawa ke Aceh.
  2. Pengangkutan dalam jumlah besar Premium dan Kerosine ke Daerah Aceh
  3. Pemasangan Bom ukuran 250 kg dan 100 kg pada Instalasi yang bakal diledakkan.
  4. Pemasangan kantong-kantong mesin pada Tangki-tangki raksasa.
Pada tanggal 12 Agustus 1947, jembatan Sei Lepan di Desa Pelawi, merupakan Pintu Gerbang masuk ke Pangkalan Berandan dari arah Medan, medannya bertebing curam sehingga jika diputuskan sukar benar untuk menyeberangi sungai lepan, dihancurkan dari Pasukan Zeni KSBO tepat Pukul 15.00 Wib, sebagai persiapan menahan lajunya serbuan Pasukan Belanda.
Pada penghujung tengah malam, diawal waktu terbitnya Fazar Siddiq, tepatnya jam 04.15 wib, tanggal 13 Agustus 1947, Tambang Minyak disulut dengan ledakan Bom, diawali dengan meledakkan Tangki – tangki raksasa, pondasi pondasi penyulingan, bangunan dan gedung perusahaan Tambang Minyak di Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu, apipun apipun berkobar merembet ke daerah Pelabuhan dan kemudian menyangkut Markas laskar dan barak tentara, langit menghitam berbunga api kemerahan bertebaran ke angkasa, kegelapan subuh berubah menjadi benderangnya kobaran api yang menjalar, suara ledakan dan kobaran api sungguh mencekam dan mengerikan semua orang yang menyaksikannya.
Begitu dentuman-dentuman dahsyat membahana di Kilang Minyak, semuanya hancur lebur berserakan rata dengan tanah, demikian pula naga api menjilat Pusat Kota Pangkalan Berandan, dan seluruhnya menjadi lautan api, tiada berbatas dan bertepi. Prinsifnya sasaran pokok Rafinaderij yaitu Pabrik Penyulingan Minyak, akan tetapi disaat pembumi hangusan itu Warga Tionghoa di Pangkalan Berandan tidak mau juga mengungsi bahkan tetap dirumahnya masing-masing, yang boleh jadi telah melakukan kontak dengan Poh An Tui (Barisan Pemuda Cina untuk membantu Tentara Belanda menjaga keamanan di Daerah Pendudukan) yang sudah terbentuk di Medan, melakukan tembakan tembakan kearah rakyat di waktu menyerbu ke daerah pendudukan RI. Mengingat pengalaman atas kejadian ini semua, tidak ada pilihan lain selain membumi hanguskan kota Pangkalan Berandan. Tindakan ini terpaksa dilakukan sebagai pembelaan terhadap rakyat awam, sekaligus pembalasan terhadap orang-orang Tionghoa kontra revolusi yang banyak bermukim ditengah kota.
Ditengah tengah gumpalan asap hitam yang bergulung gulung dan berbau minyak itu, penduduk tampak sibuk mengungsi, ada yang naik Kereta Api, ataupun naik Truck, namum banyak yang berjalan kaki menuju Tangkahan Durian dan Desa Bukit Kubu Besitang, sementara penduduk di Kawasan Sei Babalan seperti Kampung Perlis, Kelantan dan Sei Bilah dengan menggunakan Sampan menuju Pulau Kampai, Pulau Sembilan, Serang Jaya sampai ke Aceh.
Rakyat yang kehilangan harta benda dan rumah tempat tinggal itu terpaksa mengungsi keluar kota, tujuan pastilah ke daerah Republik yang seterusnya menjadi modal perjuangan. Jalannya pengungsian itu tidaklah semulus lintas Sumatera Utara sekarang ini, tetapi melintasi jalan-jalan berlubang dan berkubang, melewati hutan belukar, meninggalkan kampung halaman demi cinta kepada tanah air, dan kesemuanya dipersembahkan dengan ikhlas menyelamatkan tekad ”Merdeka ataoe Mati”. Tidak ada harta yang terbawa, semuanya menjadi lalapan api, ditinggalkan di kota tercinta dengan segala peristiwa, adalah sebagai bukti kecintaan kepada Proklamasi 17 Agustus 1945, walaupun dihadapan terbayang dan terbentang penderitaan yang teramat pedih yang akan menghadang.
Dalam situasi demikian, pasukan pasukan cadangan KSBO terus menerus di drop ke garis terdepan untuk memperkuat pertahanan agar dapat menahan lajunya serangan musuh yang diduga akan melancarkan serangan. Akan tetapi setelah terjadi peristiwa bersejarah itu sampai dengan pengakuan kedaulatan RI pada tanggal 27 Desember 1949 tentara Belanda tidak pernah menginjakkan kakinya di Bumi Pangkalan Berandan. Setelah peristiwa pembumi hangusan kota Pangkalan Berandan terjadi, pengaruhnya dirasakan bagi tentara Belanda yakni mereka kehilangan sasaran, kehilangan tujuan dan kehilangan nafsu untuk menguasai Tambang Minyak Pangkalan Berandan dan Pangkalan Susu.
Sementara sebagian besar buruh buruh Tambang Minyak Pangkalan Berandan yang mengungsi ke Daerah Aceh, ada yang langsung diterima menjadi pegawai TMRI daerah Aceh di kota Langsa dibawah Pimpinan ABDUL RAHMAN, dan yang lainnya ditampung dalam Kesatuan Tentara dan Badan Perjuangan lainnya dan sebagian lagi ada yang bertahan di pinggiran Kota Pangkalan Berandan bersama-sama bersatu membantu para Pejuang Angkatan Bersenjata kita, dengan tekad tidak akan membiarkan Kota Minyak ini jatuh ketangan Belanda.


Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo TEUKU DAUD BEUREUEH


Pada permulaan tahun 1948, Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo TEUKU DAUD BEUREUEH, menetapkan kedua daerah Tambang Minyak ini disatukan dengan nama Tambang Minyak Gubernur Militer Sumut Aceh, berkedudukan di Langsa, dibawah Pimpinan Umum Mayor Jendral Tituler AMIR HUSIN AL MUDJAHID dan sebagai Wakilnya ditunjuk ABDUL RAHMAN untuk urusan Administrasi dan DJOHAN untuk Urusan Tehnik.
Setelah persetujuan RENVILE 1948 ditanda tangani, penduduk yang selama ini pindah mengungsi ke pinggir-pinggir kota, kembali pulang memasuki kota Pangkalan Berandan yang telah musnah hancur berantakan rata dengan tanah.
Atas persetujuan bantuan dan pengawasan Batalyon XVII Resimen V KSBO terhadap buruh-buruh Tambang Minyak yang tidak ikut mengungsi ke Daerah Aceh, mengingat kesulitan dan penderitaan hidup dimasa perjuangan itu, dibenarkan secara bergotong-royong mulai membersihkan puing-puing yang berserakan dengan maksud agar dapat membuat penyulingan kecil-kecilan yang hasilnya diharapkan akan dapat sekedar menutupi kebutuhan pokok sehari-hari.
Setelah penyerahan kedaulatan, Residen ABDUL KARIM, MS dari Medan pernah mengusulkan ke Pemerintah Pusat untuk terus mengusahakan Tambang Minyak di Pangkalan Berandan, ia meminta tambahan modal untuk Rehabilitasi. Dari Jakarta tidak mendapat jawaban apapun akhirnya keadaan Perusahaan tetap terlantar seperti biasa, rumput-rumput di Areal bekas Tambang Minyak Pangkalan Berandan semakin tinggi dan akar-akar berbagai tanaman telah merayap kemana-mana menutupi wajah Tambang Minyak yang telah luka parah itu.


Kantor Besar Tambang Minyak menjadi Puing-puing


Waktu berjalan terus, sampai Gubernur Militer DAUD BEUREUEH dalam perjuangan phisik dengan Belanda, mengkhawatirkan persediaan minyak untuk keperluan perjuangan bisa habis, oleh karena itulah maka beliau memerintahkan DJOHAN yang pada waktu itu berada di Aceh, agar kembali ke Pangkalan Berandan, untuk memperbaiki Instalasi Kilang Minyak yang masih dapat digunakan supaya dapat menghasilkan minyak untuk keperluan perjuangan.
Dibantu rekan-rekannya yang berpengalaman, diantaranya diantaranya DULLAH ANWAR, mereka memperbaiki STILL Pemasakan Bekas HDB yang berkapasitas 20.000 liter, secara berangsur – angsur mulailah kembali para pengungsi dari Aceh, walau belum mendapat izin secara resmi.
Setelah Agresi Belanda mereda, dibulan Pebruari 1948 datanglah DJOHAN yang kelak menjadi salah seorang tokoh Minyak di Pangkalan Berandan, untuk mengkaji perbaikan Kilang lebih lanjut bersama WAPOSO PARLINDUNGAN yang menjadi Wakil Pemerintahan pada waktu itu. Mereka mengajak seluruh pegawai yang pernah bekerja di Pangkalan Berandan untuk memperbaiki keadaan. Usaha yang cuma bermodalkan semangat perjuangan tanpa didukung oleh sarana dan fasilitas yang memadai akhirnya menemui kegagalan.
Keadaan seperti itu terbengkalai hingga beberapa tahun, walau beberapa Pejabat Pemerintah RI seperti Komisi-komisi DPR, Menteri-menteri yang datang menunjau pada waktu itu dengan dalih memikirkan masa depan Perusahaan Tambang Minyak Pangkalan Berandan, namun hasilnya tetap saja NIHIL, kedatangan mereka disambut dengan penuh harapan akan pembangunan Tambang Minyak akan tetapi begitu mereka kembali keadaanpun mejadi sepi lagi, apa yang telihat disana, selain puing-puing besi tua yang berserakan dan gubuk-gubuk liar yang dibangun oleh rakyat sementara menunggu Perusahaan itu aktif kembali .. !! Keadaan semacam itu berlangsung terus hingga datang Agresi Militer II Pihak Belanda, tanggal 19 Desember 1948. kembali demi mencegah tambang minyak agar tidak dikuasai oleh Pihak Belanda, Pejuang Republik Indonesia di Pangkalan Berandan terpaksa untuk kedua kalinya membumi hanguskan ladang Minyak kecintaan mereka.


Pasca Bumi Hangus, Puing-puing berserakan
Maka perusahaan Tambang Minyak Pangkalan Berandan kembali menjadi Puing puing berserakan. Pangkalan Berandan dengan demikian mengalami 3 (tiga) kali pembumi hangusan ( Pertama oleh Belanda menjelang Pendudukan Jepang, kedua oleh Pihak Republik saat Agresi-I Militer Belanda dan yang ketiga juga oleh Pihak Republik saat Agresi-II Militer Belanda). Kegiatan Perminyakan di Sumatera Bagian Utara masa itu menjadi terpusat pada PERMIRI di Langsa, Aceh. PERMIRI (Perusahaan Minyak Republik Indonesia) Aceh, dengan Kilang Minyak yang mencapai kapasitas 40 ton per hari, sangat membantu perjuangan bangsa Indonesia di Sumatera Utara dan sekitarnya. Produksi minyak bumi dari PERMIRI itu dihasilkan dari Lapangan Minyak Rantau, Paluh Tabuhan, Rantau Panjang, Peurlak, Juluk Reuyeuk Darat, Telaga Said, Arubay Oebong, Pase dan Serang Jaya. Kilang di Langsa ini didirikan pada tahun 1943, pada waktu itu Kilang di Pimpin oleh 3 (tiga) pegawai Jepang, yang dikepalai oleh seorang Letnan II Angkatan Darat Jepang dan 3 orang lulusan Sekolah Tambang Minyak Pangkalan Berandan (Nampo Sekyu Kagyo Gakko). Kilang ini berlokasi tersembunyi di Kebun Karet Paya Beuyok, agar Pihak sekutu tidak mengetahuinya.

Sumber: https://edyfranjaya.wordpress.com/2012/05/28/perjuangan-di-batas-demarkasi-gebang-pangkalan-berandan-dalam-sejarah/



    Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
  • MENGENAL RAJA DEMAK SUNAN PRAWOTO (1546-1549)
  • Sejarah Demak Jateng beserta Para Pejuangnya
  • Sejarah Kota Pangkalan Berandan
  • Sejarah Demarkasi Gebang Pangkalan Berandan
  • Awal Mula PT Pertamina EP Pangkalan Susu
  • Sejarah Awal Mula Kota Pangkalan Susu
  • RAJA PERTAMA BATUBARA
  • Tokoh Pahlawan Raja Abdu'l Jalil
  • Sultan Iskandar Muda
  • Sejarah Kabupaten Asahan beserta Tokoh perjuangannya
  • Pemerintahan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 ) di demak
  • Pahlawan Pati Unus ( 1518 – 1521 ) perjuangan demak
  • pemerintahan Raden Patah ( 1500 – 1518 ) di daerah demak
  • Sejarah Kerajaan Demak dengan peninggalan pra-sejarahnya Mesjid Agung Demak
  • Sejarah Sumatera beserta Tokoh Perjuangannya yang patut untuk di kenali
  • Kepulauan Riau Sejarah singkat dan Para Pahlawan yang berjasa
  • Sejarah BANDUNG singkat beserta Tokoh Pahlawan Perjuangannya.
  • SEJARAH PULAU WEH DAN TOKOH PAHLAWAN ACEH
  • Comments