Sejarah Sumatera beserta Tokoh Perjuangannya yang patut untuk di kenali

         Pulau Sumatera adalah pulau keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 443.065,8 km2. Penduduk pulau ini sekitar 52.210.926 (sensus 2010).(sumber"https://indonesiakitakaya.wordpress.com/pulau-sumatra/sejarah-pulau-sumatra/")
Menurut berbagai sumber pulau sumatera dalam bahasa Minangkabau disebut Pulau Ameh yang berarti pulau emas, sementara rakyat Lampung menyebutnya dengan nama  tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatera. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut “Bumi Malayu” (Melayu) untuk pulau ini.
         Nama Sumatera berawal dari kunjungan kerajaan Samudera yang seorang petualang asal Maroko (Ibnu Batutah) yang datang ke negeri tersebut pada tahun 1345.Selanjutnya nama ini tercantum di dalam peta buatan portugis abad ke-16
         Dalam berbagai prasasti, Sumatera disebut dalam bahasa Sanskerta Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.
         Sementara Kata yang pertama kali menyebutkan nama Sumatra berasal dari gelar seorang raja Sriwijaya Haji (raja) Sumatrabhumi (“Raja tanah Sumatra”), berdasarkan berita China ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan nama Sumatera berasal dari nama Samudera, kerajaan di Aceh pada abad ke-13 dan abad ke-14. Para musafir Eropa sejak abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunai, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis.
         Pulau Sumatera terletak di bagian barat gugusan kepulauan Nusantara. Di sebelah utara berbatasan dengan Teluk Benggala, di timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia. Di sebelah timur pulau, banyak dijumpai rawa yang dialiri oleh sungai-sungai besar yang bermuara di sana, antara lain Asahan (Sumatera Utara), Sungai Siak (Riau), Kampar, Inderagiri (Sumatera Barat, Riau), Batang Hari (Sumatera Barat, Jambi), Musi, Ogan, Lematang, Komering (Sumatera Selatan), dan Way Sekampung (Lampung). Sementara beberapa sungai yang bermuara ke pesisir barat pulau Sumatera diantaranya Batang Tarusan (Sumatera Barat), dan Ketahun (Bengkulu).
          Di bagian barat pulau, terbentang pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke arah tenggara dengan panjang lebih kurang 1500 km. Sepanjang bukit barisan tersebut terdapat puluhan gunung, baik yang tidak aktif maupun gunung berapi yang masih aktif, seperti Geureudong (Aceh), Sinabung (Sumatera Utara), Marapi dan Talang (Sumatera Barat), Gunung Kaba (Bengkulu), dan Kerinci (Sumatera Barat, Jambi). Di pulau Sumatera juga terdapat beberapa danau, di antaranya Danau Laut Tawar (Aceh), Danau Toba (Sumatera Utara), Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas, Danau Dibawah, Danau Talang (Sumatera Barat), Danau Kerinci (Jambi) dan Danau Ranau (Lampung dan Sumatera Selatan).


Para Pahlawan di Pulau Sumatera


1. Si Singamangaradja XII


Sisingamangaraja XII adalah Pahlawan Nasional dari Tanah Batak
        Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda. Sebelumnya ia makamkan di Tarutung, lalu dipindahkan ke Balige, dan terakhir dipindahkan ke Pulau Samosir.

        Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20, Sisingamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Minangkabau melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.

Biografi Sisingamangaraja XII
        Salah satu pahlawan nasional Indonesia yang gigih berperang melawan penjajah adalah Sisingamangaraja XII. Beliau merupakan pahlawan sekaligus seorang raja dari Toba, Sumatera Utara. Keberadaan beliau membuat penjajah Belanda yang waktu itu berusaha menjajah Indonesia kewalahan. Sebagai seorang raja, beliau tidak mau wilayahnya yang merdeka, subur dan makmur dijadikan kawasan penjajahan yang kehilangan kemerdekaan.

        Ia juga dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta pada tahun 1876 menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal asing yang beroperasi di Hindia-Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun

Perang Melawan Belanda
        Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII. Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba.

Raja Sisingamangaraja XII dalam Perang Melawan Belanda
        Pada tanggal 6 Februari 1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.

        Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei 1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda.

        Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Singamangaraja XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda.

        Antara tahun 1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883 serta Tangga Batu di tahun 1884.

Makam Sisingamangaraja XII
        Kisah Si Raja Batak terakhir ini cukup melegenda, karena keberanian dan kesaktiannya pada saat melawan penjajah Belanda selama 30 tahun. Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907 dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di Dairi. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans Christoffel. Menjelang nafas terakhir dia tetap berucap, Ahuu Sisingamangaraja. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada masyarakat Toba. Sisingamangaraja XII dimakamkan bersisian dengan putra dan putrinya.

        Memasuki komplek makam Sisingamarngaraja XII, kita akan menemukan banyak terdapat rumah adat. Suasana yang teduh karena membuat mamam ini selalu tampak adri. Karena sesungguhnya kompleks makam ini merupakan Taman Makam Nasional dan dibiayai pemerintah maka para pengunjug tidak di pungut biaya untuk datang ke lokasi ini. Kita bisa mengunjungi makam ini sambil mengunjungi Museum Batak Balige.

Mungkin sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa sesungguhnya Sisingamangaraj XII tidak dimakamkan di Soposurung, melainkan di Torutung, Presiden Soekarnolah yang berinisiatif memindahkan ke Balige.

Konon, pada saat berkunjung ke Balige pada tahun 1953 Presiden Soekarno dalam pidatonya di Lapangan Balige ia berkata, "Bahwa Balige adalah daerah yang monumental bagi sejarah perjuangan Indonesia melawan penjajah di tanah Batak, karena di Beligelah pertama kali meletus perang antara pasukan Sisingamangaraja XII dan Belanda", seperti yang dilansir oleh direktori-wisata.com.

Lanjut Soekarno berujar. "Bahwa makam di Tarutung adalah makam yang dibuatkan Belanda kepada Sisingamangaraja sebagai tawanan perang, tidak layak baginya yang seorang tokoh raja dan pahlawan besar".

Maka pemerintah, masyarakat, dan keluarga kemudian bersepakat memindahkan makam Sisingamangaraja XII ke Soposurung yang dikenal sekarang ini, di sanalah Makam Sisingamangaraja XII Pahlawan Nasional dari Tanah Batak di makamkan.


Makam Raja Sisingamangaraja XII
        Makam Sisingamangaraja XII berlokasi di Jalan Siposurung, Kecamatan Balige, Toba Samosir, Sumatera Utara. Tempatnya tidak jauh dari lokasi Museum Batak Belige, jarakya kira-kira 150 meter sebelum lokasi Museum Batak Balige.

Warisan Sejarah
        Kegigihan perjuangan Sisingamangaraja XII ini telah menginspirasikan masyarakat Indonesia, yang kemudian Sisingamangaraja XII diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Selain itu untuk mengenang kepahlawanannya, nama Sisingamangaraja juga diabadikan sebagai nama jalan di seluruh kawasan Republik Indonesia.

        Selain itu, untuk mengukuhkan jasa beliau sebagai seorang pelawan penjajahan, beliau dianugerahi gelar sebagai seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional yang ditetapkan melalui SK Presiden RI No 590/1961 tanggal 9 November 1961 bersama dengan beberapa pahlawan lain seperti Oemar Said Tjokroaminoto, Kiai Haji Samanhudi, Setiabudi dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi
Sumber"https://batak-network.blogspot.co.id/2016/01/raja-sisingamangaraja-xii-pahlawan.html"


2. Dr. Ferdinand Lumban Tobing(FL TOBING)


          Ferdinand Lumbantobing atau sering pula disingkat sebagai FL Tobing, lahir di Sibuluan, Sibolga, Sumatera Utara, 19 Februari 1899 – meninggal di Jakarta, 7 Oktober 1962 pada umur 63 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia dari Sumatera Utara. Beliau dikukuhkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 17 November 1962 Keppres No. 361 Tahun 1962. Ia lulus sekolah dokter STOVIA pada tahun 1924 dan bekerja di CBZ RSCM, Jakarta.

          Setelah menamatkan Sekolah Dasar di Depok, Bogor, ia melanjutkan pelajaran ke STOVlA (Sekolah Dokter) di Jakarta dan tamat pada tahun 1924. Setelah itu ia bekerja sebagai dokter di CBZ (sekarang Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo) Jakarta bagian penyakit menular. Dari situ ia dipindahkan ke Tenggarong (Kalimantan Timur), kemudian ke Surabaya sampai tahun 1935. Sesudah itu, ia bertugas di Tapanuli, mula-mula di Padang Sidempuan, kemudian di Sibolga.

          Pada masa pendudukan Jepang, ia diangkat menjadi dokter pengawas kesehatan romusya. Dengan perasaan sedih ia menyaksikan bagaimana sengsaranya nasib para romusya yang dipaksa membuat benteng di Teluk Sibolga. Karena itu, ia melancarkan protes terhadap pemerintah Jepang. Akibatnya, ia dicurigai dan termasuk dalam daftar orang terpelajar Tapanuli yang akan dibunuh oleh Jepang. Ia terhindar dari bahaya maut sebab berhasil menyelamatkan nyawa seorang Tentara Jepang yang jatuh dari kendaraan.

          Pada tahun 1943 ia diangkat menjadi ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli di samping anggota Cuo Sangi In. Pada masa awal Revolusi ia merupakan tokoh penting di Tapanuli. Pada bulan Oktober 1945 ia diangkat menjadi Residen Tapanuli. Sebagai Residen, ia menghadapi saat-saat sulit ketika daerah Tapanuli dilanda pertentangan bersenjata antara sesama pasukan RI yang datang dari Sumatera Timur setelah daerah itu jatuh ke tangan Belanda dalam Agresi Militer I Belanda. Tetapi Tobing berpendirian tegas dan tidak mudah digertak. Dalam Agresi Militer II Belanda, ia diangkat menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan. la memimpin perjuangan gerilya di hutan-hutan, naik gunung turun gunung.

Setelah pengakuan kedaulatan, ia ditawari untuk menjadi Gubernur Sumatera Utara, tetapi tawaran itu ditolaknya. Dalam Kabinet Ali I ia diangkat menjadi Menteri Penerangan Jabatan lainnya Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan terakhir Menteri Negara Urusan Transmigrasi.

Dr. Ferdinand Lumbantobing meninggal di Jakarta, 7 Oktober 1962 pada umur 63 tahun, pemerintah Republik Indonesia meminta kepada keluarga agar almarhum dimakamkan di Taman Pahlawan, Kalibata, Jakarta. Oleh pihak keluarga menyebut jasad Ferdiand Lumbantobing dimakamkan di kampung halamannya Sibolga, sebagaimana pesan almarhum.

Atas jasa-jasanya, banyak jalan yang disebut Jalan Prof Dr Ferdinand Lumbantobing. Termasuk di Sibolga namanya diabadikan sebagai nama satu rumah sakit negeri.

Sumber:"https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/01/ferdinand-lumbantobing.html"


Baca Juga: SEJARAH PULAU WEH DAN TOKOH PAHLAWAN ACEH

3. K.H. Zainul Arifin


          Terlahir di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, 2 September 1909, Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya Kiai Haji Zainul Arifin Pohan adalah seorang politisi Nahdlatul Ulama (NU) terkemuka yang sejak remaja di zaman penjajahan Belanda sudah aktif dalam organisasi kepemudaan NU, GP Ansor, jabatan terakhirnya ialah ketua DPRGR sejak 1960 - 1963.

Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan
Lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Ayahnya bernama Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dan ibundanya adalah bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution. Kedua orang tuanya bercerai Ketika Zainul masih balita sehingga memaksa ibunya membawa pindah Zainul Arifin ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah di surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia.

Dari Gemeente ke GP Ansor
Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke Batavia (Jakarta) dan sempat diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda.
Selepas bekerja Gemeente kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama Tonil Zainul. Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.

Pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda semakin meningkat selama menjadi anggota GP Ansor, hal ini disebabkan oleh pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan bekerja di perusahaan air minum (PAM) pemerintah kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat menjadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak memerlukan pendidikan hukum formal. Tahun 1930-an ia mulai bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU, mula-mula sebagai Ketua Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua Majelis Konsul NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.

Menjadi Panglima Hizbullah Masyumi
Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah, hal itu ia lakukan Selama era pendudukan militer Jepang.

Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Paska Proklamasi Kemerdekaan
Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur politik.

Berkiprah di Legislatif dan Eksekutif
Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952. Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud.

Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indonesia (PKI) berkembang di Indonesia.

Karier politik
Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR. Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen.

Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak DI/TII dalam percobaannya membunuh presiden. Kiai Haji Zainul Arifin meninggal di Jakarta, 2 Maret 1963 pada umur 53 tahun setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan. Ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional 4 Maret 1963 Keppres No. 35 Tahun 1963.


4. Mayjen. TNI. Anm.D.I. Pandjaitan


         Brigadir Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925  dan meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 40 tahun. beliau adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta

         Beliau mendapatkan pendidikan formal dari SD hingga kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabatan sebagai komandan batalyon di TKR yang kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.

         Ketika Agresi Militer Belanda ke II terjadi beliau berhasil meraih posisi sebagai Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat kembali menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.

         Kepulangan Panjaitan ke Indonesia membuat suatu gebrakan besar, yakni dengan membongkar rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik Rakyat China yang dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan . Senjata-senjata tersebut diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi pemberontakan.

         Dengan terbongkarnya rahasisa pengiriman senjata tersebut maka pihak PKI marah. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Panjaitan berusaha untuk melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal. Mayatnya dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta. Berkat keberaniannya membela negara, Donald Isaac Panjaitan diangkat menjadi Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965 dengan Keppres No. 111/KOTI/1965.

         Donald Isaac Panjaitan meninggalkan istri Alm Marieke Pandjaitan br Tambunan, dan enam Anak yakni: Catherine Pandjaitan, Masa Arestina, Ir (Ing) Salomo Pandjaitan, Letnan Jendral (Purn) Hotmangaraja Panjaitan, Tuthy Kamarati Pandjaitan, dan Riri Budiasri Pandjaitan.

Pendidikan
SD, SMP, dan SMA di Indonesia
Associated Command and General Staff COllege, Amerika Serikat

Karir
Komandan batalyon di TKR
Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948
Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)
Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan
Kepala Staf T&T II/Sriwijaya di Palembang

Penghargaan
Pahlawan Revolusi Indonesia

(sumber: merdeka.com dan Wikipedia bahasa Indonesia     https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/01/biografi-di-pandjaitan-pahlawan-revolusi.html)


5. Tengku Amir Hamzah


Bagi masyarakat Melayu, sosok Amir Hamzah sudah tak asing lagi. Sebagai penyair besar, di tangannyalah bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang terus dihargai hingga sekarang.

Amir Hamzah adalah satu dari banyak pujangga terkenal di Indonesia. Adapun gelar pahlawan nasional yang disematkan kepadanya tak lepas dari kematiannya yang tragis ketika revolusi sosial meletus di Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara), Maret 1946 silam.

Amir Hamzah bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera. Ia lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Utara, 28 Februari 1911 dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) yang taat beragama.

Meskipun seorang pangeran di Kesultanan Langkat, Amir Hamzah justru dikenal sebagai penyair modern Indonesia yang digelari ‘Raja Penyair Pujangga Baru’.
Pamannya bernama Machmud adalah Sultan Langkat yang berkedudukan di Tanjung Pura, yang memerintah tahun 1927-1941.

Ayahnya Tengku Muhammad Adil (saudara Sultan Machmud sendiri), menjadi wakil sultan untuk Luhak Langkat Bengkulu dan berkedudukan di Binjai. Dalam usia 16 tahun, Amir Hamzah telah turut bersama-sama merumuskan konsep Sumpah Pemuda 1928 dan ikut andil membidani kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesdia (NKRI).

Pendidikannya dimulai dari Langkatsche School di Tanjung Pura pada tahun 1916. Lalu, tahun 1924 masuk sekolah MULO (sekolah menengah pertama) di Medan. Setahun kemudian ia hijrah ke Jakarta hingga menyelesaikan sekolah menengah pertamanya pada tahun 1927.

Kemudian, Amir melanjutkan sekolahnya di AMS (sekolah menengah atas) Solo, Jawa Tengah, Jurusan Sastra Timur, hingga tamat. Lalu, ia kembali lagi ke Jakarta dan masuk Sekolah Hakim Tinggi hingga meraih Sarjana Muda Hukum.

Selama di Pulau Jawa, saat pergerakan kemerdekaan dan rasa kebangsaan Indonesia bangkit, Amir Hamzah menempa dirinya dengan belajar kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia lainnya. Terlahir sebagai putera bangsawan, dia bersama Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru yang kemudian menjadi tonggak berdirinya angkatan sastrawan.

Kematian tragis Amir Hamzah menjadi catatan menyedihkan bagi sejarah perjuangan dan kesusastraan Indonesia. Tidak ada yang menyangka, pahlawan yang dikenal gigih mempersatukan bangsa ini justru meninggal dalam keadaan disiksa dan dipancung.

Berbagai sumber menyebut bahwa kematiannya didalangi oleh barisan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat revolusi sosial pecah 1946 lalu. Pada tahun 1946 sebuah mobilisasi rakyat di Sumatera mengatasnamakan gerakan sosial rakyat dikomondoi oleh PKI.

Gerakan sosialis ini ingin menghapus sistem kerajaan yang berujung pada pembunuhan Amir Hamzah dan keluarga kesultanan Melayu yang disebut-sebut pro-Belanda. Pada 29 Oktober 1945, Amir memang pernah diangkat menjadi Wakil Pemerintah RI untuk Langkat yang berkedudukan di Binjai. Kala itu, Amir adalah Pangeran Langkat Hulu di Binjai.

Awal 1946, revolusi sosial di Indonesia mulai berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa. Republik Indonesia yang baru didirikan dalam keadaan tidak stabil. Rumor menyebar di Langkat bahwa Amir Hamzah sedang berkumpul bersama perwakilan Belanda yang kembali ke Sumatera.

Semangat revolusi kian tak terbendung sehingga muncullah benih-benih kerusuhan. Rakyat mengtasnamakan gerakan sosialis mendesak Kesultanan Langkat segera mengakui Republik Indonesia. Revolusi sosial pun pecah pada 3 Maret 1946. Keluarga bangsawan yang dianggap kurang memihak rakyat, termasuk Amir Hamzah pun menjadi sasaran kemarahan yang dikomandoi faksi-faksi Partai Komunias Indonesia (PKI) yang anti kaum bangsawan.


Kekuasaan Amir dilucuti dan ia bersama keluarganya ditangkap pada 7 Maret 1946. Amir dan anggota keluarga Kesultanan Langkat dibawa ke sebuah tempat yang dikuasai faksi sosialis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer dari Kota Binjai. Kesaksian yang muncul di kemudian hari menunjukkan bahwa tahanan itu termasuk Amir, diadili oleh para penculik. Mereka dipaksa menggali lubang dan disiksa.

Pada dini hari 20 Maret 1946, Amir Hamzah wafat bersama 26 tahanan lainnya. Amir meninggal dunia setelah dihukum pancung oleh barisan PKI. Jasadnya dimakamkan di sebuah kuburan massal yang digali sendiri oleh para tahanan. Saudara Amir juga ikut menjadi korban dalam aksi revolusi tersebut.

Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga. Tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang. Pada November 1949 jenazahnya dimakamkan di Kompleks Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat, berjarak 38 km dari Kota Binjai. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Dalam buku Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah, yang disusun Tengku Haji M Lah Husny juga menceritakan, pada 7 Maret 1946 silam Amir Hamzah diculik dan dibawa ke sebuah rumah bekas tahanan kempetai (nama satuan polisi militer Jepang) di tepi Sungai Mencirim, Binjai.

Dua minggu kemudian ia dieksekusi. Salah seorang algojo dari barisan revolusi memenggal kepala Amir di sebuah lubang di Kwala Begumit. Malam itu, sang penyair besar itu menghembuskan nafas terakhirnya.

Peristiwa tragis ini juga dibenarkan oleh salah satu tokoh masyarakat Melayu Langkat, Johar Arifin Husein. Dalam situs Melayuonline, Johar Arifin menceritakan, sikap perjuangan Amir Hamzah yang kooperatif terhadap Belanda telah disalahartikan oleh PKI, yang kemudian memfitnah Amir sebagai boneka Belanda.

Amir ditahan pada 7 Maret 1946 sewaktu revolusi sosial meletus. Kemudian tanggal 20 Maret 1946, dia gugur dipancung oleh salah seorang barisan PKI. Sejarah mencatat Amir hanyalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial. Ia tutup usia pada usia 35 tahun.

Sebagai penyair terkenal, Amir telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, satu prosa liris terjemahan, 13 prosa dan satu prosa terjemahan. Jumlah seluruhnya adalah 160 tulisan. Jumlah itu masih ditambah dengan Setanggi Timur (puisi terjemahan) dan terjemahan Bhagawat Gita. Eentah berapa tulisan yang tak sempat tersiar atau dipublikasikan. Amir Hamzah hanya menerbitkan dua kumpulan puisi tunggal, yaitu Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937).

Amir telah menerima pengakuan yang luas dari pemerintah Indonesia. Sebuah taman dinamakan untuknya, Taman Amir Hamzah, yang berlokasi di Jakarta di dekat Monumen Nasional. Kemudian, sebuah masjid di Taman Ismail Marzuki yang dibuka untuk umum pada tahun 1977. Selain itu, beberapa jalan diberi nama Amir Hamzah, seperti di Kota Medan, Surabaya dan kota lainnya di Indonesia.

Sumber:
https://daerah.sindonews.com/read/1229025/29/kisah-amir-hamzah-pahlawan-nasional-yang-gugur-dipancung-1502347368/13
Buku Biografi-Sejarah Pujangga dan Pahlawan Nasional Amir Hamzah
Pangkalan data Tengkuamirhamzah
Melayuonline
Diolah dari berbagai sumber


Baca Juga: Sejarah BANDUNG singkat beserta Tokoh Pahlawan Perjuangannya.

6. Tuanku Imam Bonjol


       Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6 November 1864), bernama asli Muhammad bin Syahab atau Petto Syarif.

       Beliau adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang Padri di tahun 1803-1837. Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November 1973 .

       Tuanku Imam Bonjol dilahirkan di Bonjol, Pasaman, Indonesia pada tahun 1772.Beliau kemudiannya meninggal dunia di Manado, Sulawesi pada 6 November 1864 dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di Khusus Lotak, Minahasa.

       Tuanku Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Dia berasal dari Sumatera Barat. “Tuanku Imam Bonjol” adalah sebuah gelaran yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli Imam Bonjol adalah Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin.

        Dia adalah pemimpin yang paling terkenal dalam gerakan dakwah di Sumatera, yang pada mulanya menentang perjudian, laga ayam, penyalahggunaan dadah, minuman keras, dan tembakau, tetapi kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belandayang memiliki semboyan Gold, Glory, Gospel sehingga mengakibatkan perang Padri (1821-1837).

        Mula-mula ia belajar agama dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian dari beberapa orang ulama lainya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol adalah pengasas negeri Bonjol.

        Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

        Golongan adat yang merasa terancam kedudukanya, mendapat bantuan dari Belanda. Namun gerakan pasukan Imam Bonjol yang cukup tangguh sangat membahayakan kedudukan Belanda. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Perjanjian itu disebut “Perjanjian Masang”. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

        Pertempuran-pertempuran berikutnya tidak banyak bererti, kerena Belanda harus mengumpul kekuatanya terhadap Perang Diponogoro. Tetapi setelah Perang Diponogoro selesai, maka Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menaklukan seluruh Sumatra Barat.

        Imam Bonjol dan pasukanya tak mahu menyerah dan dengan gigih membendung kekuatan musuh. Namun Kekuatan Belanda sangat besar, sehingga satu demi satu daerah Imam Bonjol dapat direbut Belanda. Tapi tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali. Ini terjadi pada tahun 1832.

         Belanda kembali mengerahkan kekuatan pasukanya yang besar. Tak ketinggalan Gabernor Jeneral Van den Bosch ikut memimpin serangan ke atas Bonjol. Namun ia gagal. Ia mengajak Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Palakat Panjang”, Tapi Tuanku Imam curiga.

         Untuk waktu-wakyu selanjutnya, kedudukan Tuanku Imam Bonjol bertambah sulit, namun ia tak mahukan untuk berdamai dengan Belanda.Tiga kali Belanda mengganti panglima perangnya untuk merebut Bonjol, sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat. Setelah tiga tahun dikepung, barulah Bonjol dapat dikuasai, iaitu pada tanggal 16 Ogos 1837.

         Pada tahun 1837, desa Imam Bonjol berjaya diambil alih oleh Belanda, dan Imam Bonjol akhirnya menyerah kalah. Dia kemudian diasingkan di beberapa tempat, dan pada akhirnya dibawa ke Minahasa. Dia diakui sebagai pahlawan nasional.

         Sebuah bangunan berciri khas Sumatera melindungi makam Imam Bonjol. Sebuah relief menggambarkan Imam Bonjol dalam perang Padri menghiasi salah satu dinding. Di samping bangunan ini adalah rumah asli tempat Imam Bonjol tinggal selama pengasingannya.

Riwayat Perjuangan
        Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berbunuhan adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.

        Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang itu karena “diundang” kaum Adat.

        Pada 21 Februari 1821, kaum Adat resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).

        Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan paderi cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk menundukkannya. Oleh sebab itu Belanda terpaksa mengadakan perjanjian damai dengan Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1824. Gubernur Jendral Johannes van den Bosch pernah mengajak Tuanku Imam Bonjol berdamai dengan maklumat “Perjanjian Masang”, karena disaat bersamaan Batavia juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro. Tetapi perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang Negeri Pandai Sikat.

        Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri . Bersatunya kaum Adat dan kaum Paderi ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah (Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an)).

        Dalam MTIB, terefleksi ada rasa penyesalan Tuanku Imam Bonjol atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan Mandailing. Tuanku Imam Bonjol sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama. “Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), ungkap Tuanku Imam Bonjol seperti tertulis dalam MTIB (hal 39).

        Penyesalan dan perjuangan heroik Tuanku Imam Bonjol bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) juga dapat menjadi apresiasinya akan kepahlawanannya menentang penjajahan[3]. — seperti rinci dilaporkan G. Teitler yang berjudul Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol 1834-1837.

         Belanda menyerang benteng kaum Paderi di Bonjol dengan tentara yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi yang sebagian besar terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda adalah Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz dan seterusnya, tetapi juga nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.

         Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenap alias Madura). Ketika dimulai serangan terhadap benteng Bonjol, orang-orang Bugis berada di bagian depan menyerang pertahanan Paderi.

         Dari Batavia didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda. Tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang belakangan ini menunjuk kepada serdadu Afrika yang direkrut oleh Belanda di benua itu, kini negara Ghana dan Mali. Mereka disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.


KETURUNAN IMAM BONJOL
         mam Bonjol memiliki banyak anak, salah seorang anaknya perempuan bernama Syarifah Hamatun Mujahidah (Hamatun II), yang kemudian dinikahkan dengan Syekh Imam Musthofa Al-Hafizh alias Syekh Sayyid Musthofa bin Mujtaba Azmatkhan, dan melahirkan 2 anak, yaitu: Sayyid Abdur Razzaq dan Syarifah Marfu'ah. Daftar salasilah Keturunan Imam Bonjol dan Keluarga Besar Kesultanan Pagaruyung saat ini dipegang secara turun temurun, dari Imam bonjol, diwariskan ke menantunya Syekh Imam Musthofa Al-Hafizh alias Syekh Sayyid Musthofa bin Mujtaba Azmatkhan, kemudian diwariskan ke Sayyid Abdur Razzaq, kemudian dipegang oleh Sayyid Bahruddin dan dimasukkan dalam Kitab Al-Mausu'ah Li Ansab Al-Imam Al-Husaini.

Saat ini para tokoh dan ulama yang merupakan keturunan IMAM BONJOL, sedang berkumpul dalam perkumpulan keluarga bernama DIN (Dzurriyyah Imam-Bonjol Nusantara).

Sumber" https://web.facebook.com/notes/shohibul-faroji/tuanku-imam-bonjol-imam-besar-bumi-sumatera-mufti-besar-pagaruyung-mujahid-islam/316856661798627/?_rdc=1&_rdr"


7. Dr.H.Mohammad Hatta


         Dr.(HC) Drs. H. Mohammad Hatta Atau yang lebih dikenal dengan Bung Hatta adalah wakil presiden pertama Indonesia, selain itu beliau juga adalah seorang pejuang, negarawan, dan juga ekonom. Lelaki kelahiran Fort de Kock, Hindia Belanda (Sekarang Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia) 12 Agustus 1902 yang bernama lahir Mohammad Attar merupakan anak kedua dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Selain menjabat sebagai wakil presiden bung hatta juga pernah menjabat menjadi perdana menteri dalam Kabinet Hatta I-II dan RIS. Pada tahun 1956 Bung Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden akibat perselisihan dengan Presiden Soekarno. Bung Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

        Atas jasanya nama Bung Hatta diabadikan dalam nama sebuah bandar udara internasional di Tanggerang, Banten, Indonesia bersama dengan Ir. Soekarno yaitu Bandara Soekarno-Hatta, Selain di Indonesia nama beliau juga diabadikan menjadi sebuah nama jalan bernama mohammed hattastraat di Zuiderpolder, Haarlem Belanda. Pada 18 November 1945, Bung Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan setelah 3 hari menikah mereka pindah dan tinggal Yogyakarta, Pernikahan mereka dikaruniai 3 orang anak perempuan yaitu Meutia Farida Hatta, Gembala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta. Pada 14 Maret 1980 pada usia 77 tahun, Bung Hatta meninggal dunia di Jakarta.

Profil Singkat Drs. Mohammad Hatta
Nama : Drs. Mohammad Hatta (Bung Hatta)
Lahir : Bukittinggi, 12 Agustus 1902
Wafat : Jakarta, 14 Maret 1980
Ayah: Muhammad Djamil
Ibu :  Siti Saleha
Istri : Rahmi Rachim
Anak :
Meutia Farida
Gemala
Halida Nuriah

Riwayat Pendidikan :
Europese Largere School (ELS) di Bukittinggi (1916)
Meer Uirgebreid Lagere School (MULO) di Padang (1919)
Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), Jakarta (1921)
Nederland Handelshogeschool, Rotterdam, Belanda (1932)

Karir :
Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (7 Agustus 1945)
Wakil Presiden Republik Indonesia pertama (18 Agustus 1945)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan (Januari 1948 – Desember 1949)
Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Kabinet Republik Indonesia Serikat (Desember 1949 – Agustus 1950)

Pendidikan Dan Masa Muda Moh. Hatta
        Sejak kecil, Hatta dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat pada agama, kakek beliau dari pihak ayahnya yang bernama Abdurahman Batuhampar merupakan ulama pendiri surau batu hampar yaitu salah satu surau yang bertahan pasca perang paderi. Namun pada saat Hatta berumur 7 bulan Ayah beliau yaitu Muhammad Djamil meninggal dunia, dan setelah sepeninggalan ayahnya sang ibu menikah dengan seorang pedagang dari palembang yang sering berhubungan dagang dengan kakek beliau dari pihak ibu yaitu Ilyas Bagindo Marah bernama Agus Haji Ning. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai 4 orang anak perempuan.

       Moh.Hatta mengenyam pendidikan formal untuk pertama kali di sekolah swasta, namun setelah 6 bulan beliau pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan kakaknya Rafiah, Namun tidak begitu lama pelajarannya berhenti di pertengahan semester 3 lalu beliau pindah ke ELS(Europeesche Lagere School) (Sekarang SMA N 1 Padang) hingga tahun 1913. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikan beliau di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sejak menempuh pendidikan di MULO beliau mulai tertarik dengan perkumpulan pemuda dan beliau masuk dalam Jong Sumatranen Bond dan menjadi bendahara.

       Pada tahun 1921 hingga 1932, Mohammad Hatta melanjutkan studinya di Handels Hogeschool, Belanda (Kemudian bernama Economische Hogeschool dan kini bernama Universitas Erasmus Rotterdam). Selama studi beliau masuk dalam organisasi sosial yang kemudian menjadi organisasi politik akibat pengaruh dari Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo bernama Indische Vereniging. Pada tahun 1922, Indische Vereniging berubah nama menjadi Indonesische Vereniging, Lalu berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1923 Bung Hatta menjadi bendahara dan mengasuh sebuah majalah bernama Hindia Putera (Kemudian bernama Indonesia Merdeka). Pada tahun 1923 pula Hatta lulus dalam ujian Handles economie (Ekonomi Perdagangan) dan pada tahun 1924, beliau non aktif di Perhimpunan Indonesia karena beliau berniat untuk mengikuti ujian doctoral ekonomi diakhir tahun 1925. Namun pada waktu itu ada jurusan baru yaitu hukum negara dan hukum administratif, kemudian beliau memasuki jurusan tersebut karena terdorong oleh minat besarnya pada bidang politik.

       Pada 17 Januari 1926, Hatta menjadi pemimpin Perhimpunan Indonesia, akibatnya beliau terlambat menyelesaikan studinya. Dan pada tahun 1926 epatnya pada bulan desember Hatta didatangi oleh PKI yaitu Semaun yang menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum pada PI Dan terjadilah suatu perjanjian yang dinamai dengan Konvensi Semaun-Hatta. Hal tersebut menjadi alasan bagi pemerintah Belanda untuk melakukan penangkapan pada Hatta. Pada waktu itu Hatta belum menyetujui paham komunis, Stalin membatalkan keinginan Semaun yang berakibat hubungan Hatta dengan Komunisme mulai memburuk, Sikap yang dilakukan oleh Hatta ditentang oleh anggota PI yang telah dikuasai komunis.

       Hatta mengikuti sidang “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan Untuk kemerdekaan Nasional” pada tahun 1927 di Frankfurt. Dalam sidang ini Hatta tidak dapat percaya dengan komunis. Pada tahun 1927 tepatnya tanggal 25 september Hatta bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Madjid Djojohadiningrat dan juga Nazir Datuk Pamuntjak di tangkap oleh pemerintah belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikaitkan dengan Semaun dan juga menghasut supaya menentang kerajaan belanda. Mereka semua dipenjara di Rotterdam selama tiga tahun. Pada 22 Maret 1928, sidang kedua kasus Hatta digelar. Dalam sidang, ia melakukan penolakan terhadap semua tuduhan yang diarahan padanya dalam pidatonya yang berjudul “Indonesie Vrij atau Indonesia Merdeka” dan pidato Hatta tersebut diterbitkan menjadi brosur sampai Indonesia. Hatta beserta ketiga rekannya yang lain akhirnya dibebaskan oleh mahkamah pengadilan di Den Haag dari segala tuduhan.

Kembali Ke Indonesia
      Sebulan setelah menyelesaikan pendidikannya di Belanda, Hatta kembali ke Indonesia. Di Indonesia, Hatta disibukkan dengan menulis artikel politik dan ekonomi di Daulah Ra’jat dan berbagai kegiatan politik lainnya. artikel tulisan Hatta diantaranya “Soekarno Ditahan” (10 Agustus 1933), “Tragedi Soekarno” (30 Nopember 1933), dan “Sikap Pemimpin” (10 Desember 1933), semua itu Ia tulis sebagai reaksi kerasnya terhadap sikap Soekarno yang ditahan oleh Belanda dan berakhir dengan pengasingan Soekarno ke Ende, Flores.

      Setelah mengasingkan Soekarno, Pemerintah Belanda beralih ke Partai Pendidikan Nasional Indonesia. Para pemimpin Partai Pendidikan Nasional Indonesia seperti Moh. Hatta, Sutan Sjahriri, Burhanuddin, Bondan, Murwoto, dan Maskun ditangkap dan kemudian ditahan di penjara Glodok dan Cipinang selama hampir setahun. Setelah itu mereka diasingkan ke Boven Digoel (Papua).

Masa Pengasingan
      Hatta dan rekan-rekannya dari Partai Pendidikan Nasional Indonesia tiba di pengasingan yaitu di Tanah Merah, Boven Digoel(Papua) pada Januari 1935. Kapten Van Langen yang saatitu merupakan kepala pemerintahan di Boven Digoel menawarkan 2 pilihan pada mereka yaitu bekerja pada Belanda dengan upah per hari hanya 40 sen dengan harapan bisa kembali ke daerah asal atau tetap menjadi buangan yang menerima makanan in natura engan tidak ada harapan kembali ke daerah asal. Pilihan tersebut Hatta jawab dengan mengatakan bahwa jika ia mau bekerja dengan belanda saat masih di jakarta tentu ia menjadi orang besar dengan gaji tinggi, tak perlu ke Tanah Merah menjadi kuli dengan gaji hanya 40 sen saja.

      Selama masa pengasingannya di Digoel, untuk memenuhi kebutuhan hidunya, Hatta menjadi penulis artikel untuk surat kabar Pemandangan. Pada Desember 1935, pengganti Van Langen yaitu Kapten Wiarda mengatakan bahwa tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir akan dipindah ke Banda Neira, Januari 1936 mereka berangkat kesana. Disana mereka bebas bergaul dengan penduduk dan disana pula mereka bertemu dengan Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Mr. Iwa Kusumasumantri.

Kembali Dari Pengasingan Dan Masa Kekuasaan Jepang
       Pada 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang Menyerang Pearl Harbor, setelah itu Jepang mulai menguasai beberapa wilayah termasuk Indonesia. Karena keadaan yang menjadi genting dan ditakutkan para buangan bekerja sama dengan Jepang, kemudian Belanda memindahkan semua buangan ke Australia. Namun Hatta dan Sjahrir yang berada di Banda Neira dipindahkan ke Sukabumi pada 3 Februari 1942. Pada 9 Maret 1942 Belanda menyerah pada Jepang. Lalu pada 22 Maret 1942 , Hatta dan Sjahrir dibawa kembali ke Jakarta dan bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta bertanya pada pihak Jepang tentang kedatangannya ke Indonesia dan pihak Jepang mengatakan tidak akan menjajah Indonesia. Hatta ditawari kerja sama dengan jabatan penting, namun Ia menolak dan memilih menjadi penasehat lalu ia diberi kantor dan rumah.

Persiapan Kemerdekaan Indonesia
       Pada 22 Juni BPUPKI membentuk panitia kecil yang dikenala dengan panitia sembilan yang beranggotakan Ir. Soekarno, Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

       Pada 9 Agustus 1945, bersama dengan Ir.Soekarno dan KRT Radjiman Wedyodiningrat, Bung hatta pergi ke Dalat, Vietnam untuk dilantik oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi sebagai ketua dan wakil ketua PPKI.

       Pada tanggal 16 Agustus 1945, terjadi penculikan Bung Karno dan Bung Hatta oleh golongan pemuda dan mereka membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke Rengasdengklok dan penculikan ini dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Penculikan ini di lakukan agar proklamsi segera dilaksanakan secepatnya.

       Menjadi Wakil Presiden RI ke-1 Dan Pengunduran Diri Sebagai Wakil Presiden
Pada 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta pukul 10.00 WIB, Proklamsi Kemerdekaan dibacakan. Berselang sehari yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Bung Hatta resmi menjadi Wakil Presiden RI mendampingi Bung Karno.

       Setelah menjadi wakil presiden, Bung Hatta masih aktif dalam memberikan ceramah ke berbagai lembaga pendidikan tinggi. Pada tanggal 12 Juli 1947, Hatta mengadakan Kongres Koperasi yang pertama (ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia) dan Bung Hatta ditetapkan menjadi Bapak Koperasi Indonesia.

       Pada 21 Juli 1947, terjadi Agresi Militer Belanda I. Pada saat hendak menyetujui Perjanjian Renville yang berakibat jatuhnya kabiet Amir, kemudian terbentuk Kabinet Hatta pada 29 Januari 1948 dengan Hatta yang saat itu menjadi Perdana Menteri menjadi Menteri ertahana pula.

       Pada tahun 1955, Bung Hatta menyatakan bahwa parlemen dan konstituante telah terbentuk dan Ia akan mengundurkan diri karena menurutnya dengan pemerintahan parlementer kepala negara hanya simbol maka wakil presiden sudah tidak diperlukan. Pada 20 Juli 1956, Bung Hatta menulis surat untuk Ketua DPR namun ditolah secara halus, kemudian ia menulis kembali surat yang sama pada tanggal 23 November 1956 yang berisi bahwa ia akan mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Setelah 11 tahun menjabat menjadi wakil presiden, DPR mengabulkan permintaan Hatta mengundurkan diri pada sidang DPR 30 November 1956.

      Setelah Pengunduran Diri Sebagai Wakil Presiden Dan Wafatnya Mohammad Hatta
Setelah mengundurkn diri, untu menambah penghasilan dari menulis buku dan mengajar. Pada tahun 1963, saat Presiden Soekarno berada pada puncak kejayaannya, Bung Hatta jatuhsakit dan perlu perawatan ke Swedia yang alatnya lebih lengkap.

      Pada 15 Agustus 1972, Pada upacara kenegaraan di Istana Negara , Presiden Soeharto menyatakan bahwa Bung Hatta dianugrahi Bintang Republik Indonesia Kelas I .

      Setelah dirawat selama 11 hari di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, Pada 14 Maret 1980 pada pukul 18.56 Bung Hatta meninggal dunia. Keesokan harinya, Beliau disemayamkan di rumahnya di jalan Diponegoro 57, Jakarta dan kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta dengan upacara kenegaraan yang dipimpin oleh wakil presiden Adam Malik. Pada Tahun 1986, saat pemerintahan Soeharto, Bung Hatta ditetapkan sebagai pahlawan Proklamator dan pada tahun 2012 tepatnya pada tanggal 7 November Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.


Sumber:"http://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-mohammad-hatta-proklamator-indonesia/"


8.K.H. AGUS SALIM


        Haji Agus Salim lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Sumatera Barat, dengan nama Musyudul Haq yang berarti ‘pembela kebenaran’. Ayahnya yang seorang jaksa di pengadilan Riau memungkinkan Haji Agus Salim untuk belajar di sekolah dasar Belanda  ELS (Europeese Lager School). Lulus pada 1897, dia bertolak ke Batavia untuk masuk ke Hogere Burger School (HBS), sekolah lanjutan yang sebenarnya hanya untuk orang-orang Eropa. Pada masa itu,sangat jarang melihat anak pribumi masuk ke sekolah Eropa. Ia lulus dari HBS dengan nilai paling tinggi di tingkat nasional, mengalahkan orang-orang Belanda saat berusia 19 tahun.

       Beliau pun berniat melanjutkan ke sekolah dokter di Belanda. Namun, permohonan beasiswanya tidak diluluskan pemerintah Belanda, sementara keluarga beliau tidak memiliki uang. Baru setelah R.A. Kartini yang mendengar berita mengenai Haji Agus Salim memberi rekomendasi, pemerintah Belanda pun memberi beasiswa. Terlanjur meras tersinggung,

       Haji Agus Salim pun menolaknya. Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam dan mempelajari diplomasi. Beliau juga belajar beragam bahasa, seperti Belanda, Inggris, Jerman, Prancis, Arab, Turki, dan Jepang.

       Pulang ke Indonesia, pada tahun 1915, Haji Agus Salim masuk ke dalam Serikat Islam (SI) pada masa kepemimpinan H.O.S. Cokroaminoto . Dalam waktu singkat, mereka menjadi kawan baik dan bekerja sama demi masa depan Indonesia. Haji Agus Salim lantas dipercaya menggantikan Cokroaminoto di Volksraad pada 1922-1925. Di sini, beliau tak jarang bicara terbuka, keras, dan menantang. Seiring bergesernya gaya perjuangan SI ke arah non kooperatif, Agus Salim mundur dari Volksraad . Ia kemudian aktif di JIB (Jong Islamieten Bond) dan bekerja sebagai jurnalis.

       Agus Salim kemudian menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Bersama Djajadiningrat dan Soepomo, ia juga menjadi penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945. Haji Agus Salim merupakan tokoh pemberani yang pandai berargumentasi dengan cerdas sehingga Sukarno pun memberinya julukan The Grand Old Man. Setelah kemerdekaan, Agus Salim menjadi Menteri Luar Negeri pada beberapa kabinet.

Tempat/TgI. Lahir: Kota Gadang, 8 Oktober 1884
Tempat/Tgl. Wafat: jakarta, 4 November 1954
SK Presiden: Keppres No. 657/Tahun 1961, Tgl. 27 Desember 1961
Gelar: Pahlawan Nasional
Haji Agus Salim wafat dalam kesederhanaan pada 4 November 1954. Haji Agus Salim adalah pahlawan pertama yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.


Sumber"https://www.pahlawanindonesia.com/biografi-pahlawan-haji-agus-salim/"


9. Dr. Mohammad Natsir


      Mohammad Natsir lahir pada tanggal 17 Juli 1908 di Solok, Sumatera Barat. Mohammad Natsir merupakan seorang politikus dan tokoh islam terpelajar.

      Mohammad Natsir juga merupakan mantan perdana menteri Indonesia yang ke lima. Ayahnya adalah Mohammad Idris Sutan Saripado yang merupakan seorang pegawai pemerintahan dan ibunya bernama Khadijah.

      Di tahun 1916, Mohammad Natsir belajar di HIS yang merupakan sekolah India Belanda di Adabiyah, Padang. Setelah beberapa bulan, Mohammad Natsir pindah ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School) Solok dan belajar di sana sampai selesai kemudian melanjutkan pendidikan di Madrasah Diniyah dengan tetap melanjutkan pendidikan formal di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Mohammad Natsir bergabung dengan Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond. Mohammad Natsir juga belajar bermain Biola.

       Setelah menamatkan pendidikan di Sumatera Barat, Mohammad Natsir pindah ke Bandung. Di bandung, Mohammad Natsir melanjutkan pendidikan di Algememe Midelbare School (AMS).

       Mohammad Natsir memilih sekolah karena kelas klasik baratnya. Dari tahun 1928 hingga 1932, Mohammad Natsir menjadi seorang ketua dari JIB bandung. Mohammad Natsir kemudian mendapatkan sebuah izin mengajar setelah belajar selama dua tahun di sebuah akademi pelatihan guru untuk warga local.

       Meskipun, Mohammad Natsir telah mempelajari islam terlebih dahulu di Sumatera Barat, ketika di Bandung Mohammad Natsir lebih mendalami ketertarikannya pada agama, termasuk subjek seperti interpretasi Al Quran, ilmu hukum islam dan dialektika. Mohammad Natsir kemudian belajar dengan Ahmad Hassan, seorang pemimpin dari Persatuan Islam.

       Setelah mempelajari mengenai doktin islam lebih mendalam. Mohammad Natsir menulis sebuah artikel untuk dipublikasi di tahun 1929 dan selama tahun 1930an Mohammad Natsir menulis beberapa makalah yang bertemakan islam.

       Mohammad Natsir masuk ke dalam dunia politik di pertengahan tahun 1930an, pamornya meningkat melalui partai Islam. Pada tanggal 5 September 1950, Mohammad Natsir dipilih sebagai seorang perdana menteri.

       Mohammad Natsir menjabat sampai pada tanggal 26 April 1951. Setelah masa jabatannya sebagai perdana menteri selesai, Mohammad Natsir menjadi lebih vocal mengenai peranan islam di Indonesia dan akibat sikapnya tersebut, Mohammad Natsir ditangkap.

       Kemudian dibebaskan pada tahun 1966 setelah pemerintahan Orde Baru mengambil kekuasaan. Mohammad Natsir melanjutkan kritikannya pada pemerintah sehingga membuatnya dibatasi untuk bepergian.

       Mohammad Natsir menulis mengenai pandangannya terhadap islam sekitar 45 buku dan ratusan artikel. Mohammad Natsir menerbitkan beberapa karyanya dalam dua bahasa Indonesia, Inggris dan juga Belanda.

       Tema yang diambil mulai dari doktrin islam, kebudayaan, hubungan islam dan politik serta peranan perempuan di dalam islam. Kemudian karya-karyanya yang terakhir lebih fokus pada politik termasuk hubungan Islam-Kristen dan khotbah Islam.

       Mohammad Natsir mendapatkan gelar doktor kehormatan selama hidupnya dari Lebanon dan dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Mohammad Natsir mendapatkan penghargaan sebagai salah satu pahlawan nasional Indonesia. Mohammad Natsir meninggal pada tanggal 11 Maret 1993.

Sumber" http://sosok-tokoh.blogspot.co.id/2016/05/biografi-singkat-mohammad-natsir.html"


10.Prof.Dr.Buya Hamka


      Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia. Buya HAMKA juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.


Biografi Buya HAMKA dari Biografi Web
      Hamka juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil HAMKA dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra HAMKA bernama H. Rusydi HAMKA, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.

RIWAYAT PENDIDIKAN HAMKA
     HAMKA di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

     Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, HAMKA mengikuti berbagai diskusi dan training pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.

RIWAYAT KARIER HAMKA
      HAMKA bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, HAMKA kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957- 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.

       Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu HAMKA sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.

        Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali, melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

RIWAYAT ORGANISASI HAMKA
        HAMKA aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid’ah, tarekat dan kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 HAMKA mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Pada tahun 1953, HAMKA dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiyah.

AKTIVITAS POLITIK HAMKA
        Kegiatan politik HAMKA bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, HAMKA diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.

        Pada tahun 1955 HAMKA beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, HAMKA menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran HAMKA ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, HAMKA tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang mempertanyakan sikap HAMKA. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi HAMKA, apa yang dilakukannya atas dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata HAMKA, Sukarno adalah seorang muslim.

        Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, HAMKA diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.

        Pada tahun 1978, HAMKA lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.

       Idealisme HAMKA kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak keinginan itu. Sikap keras HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu, HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula HAMKA memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.

AKTIVITAS SASTRA HAMKA
       Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, HAMKA merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, HAMKA menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. HAMKA juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

       HAMKA juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu, HAMKA menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura. Setelah itu HAMKA menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.

AKTIVITAS KEAGAMAAN
       Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.

      HAMKA dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.

      Ada satu yang sangat menarik dari Buya HAMKA, yaitu keteguhannya memegang prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi HAMKA. Pada zamam pemerintah Soekarno, HAMKA berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno. Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ’kebakaran jenggot’. Tidak hanya berhenti di situ saja, HAMKA juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari HAMKA lebih banyak diisi dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.

WAFATNYA HAMKA
       Pada tanggal 24 Juli 1981 HAMKA telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

PENGHARGAAN
       Atas jasa dan karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia

PANDANGAN HAMKA TENTANG KESASTRAAN
       Pandangan sastrawan, HAMKA yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya HAMKA menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan; dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.

BUAH PENA BUYA HAMKA
       Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya HAMKA. Tafsir Al-Quran 30 juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya HAMKA semasa hidupnya. Tafsir tersebut dimulainya tahun 1960.

       HAMKA meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila), sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman (Tashawwuf Modern).

Sumber"https://bio.or.id/biografi-buya-hamka/"


11.Sultan Mahmud Badaruddin II


Lahir di  : Palembang, 23 November 1767
Wafat di : Ternate, Maluku  Utara, 26 September 1852
Usia : 84 tahun
Agama : Islam

      Sultan Mahmud Badaruddin II, nyatanya setelah Kerajaan Sriwijaya runtuh, kekaisaran pada Sumatera Selatan khusunya Palembang tak sampai disitu saja, pada tahun  1675-1825 M diketahui terdapat kesultanan Palembang Darussalam  yang meliputi wilayah Lampung Utara hingga Krui, Pulau Bangka dan eks Keresidenan Palembang. Dalam kesultanan tersebut terdapat beberapa sultan yang memerintah, dan yang paling terkenal adalah Sultan Mahmud Bdaruddin II. Sultan ke-8 Palembang Darussalam ini memimpin selama dua periode, yakni pada tahun 1803-1813 dan 1818-1821.

      Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan seorang yang tegas dan sering membela kerajannya agar tidak diperbudak oleh bangsa asing. Apalagi di daerah Palembang dan sekitarnya cukup kaya dengan timah. Sultan yang bernama asli Raden Hasan Pangeran Ratu dan lahir di Palembang pada tahun 1767 ini nyatanya sangat cukup disegani oleh bangsa asing terutama saat Sultan Mahmud Badaruddin II menolak dengan tegas surat dari Sir Thomas Stamford Raffles untuk ikut campur dalam perselisihan Inggris dengan Belanda. Dalam mempertahankan kesultanan Palembang Darussalam tersebut.


Peristiwa Sungai Loji Aur (1811)
       Belanda yang sudah sejak awal membangun Loji (kantor dagang) di Palembang tepatnya di Sungai Aur (10 ulu) akhirnya diusir oleh Sultan Mahmud Badaruddin II. Belanda menolak dan melakukan perlawanan massal hingga terjadi pembunuhan di muara Sungsang. Peristiwa ini dikenal dengan “penyembelihan massal” (Palembang Massacre). Dalam hal ini Belanda menuduhSir Thomas Stamford Raffles yang telah menghasut Sultan Mahmud Badaruddin II untuk mengusir Belanda. Seminggu setelah pengusiran Belanda dari loji sungai Aur, loji tersebut dibakar habis serta dibongkar sampai fondasinya.

Penyerbuan Inggris ke Palembang tahun 1812
       Setelah Belanda pergi, Kesultanan Palembang Darussalam sempat bekerjasama dengan Inggris. Tetapi hal tersebut tidak berjalan lama, Sir Thomas Stamford Raffles mengirim sebuah ekspedisi militer di bawah Mayor Jendral Gillespie dari Batavia tanggal 20 Maret 1812 untuk menyerang kesultanan Palembang Darussalam. Ekspedisi tersebut berhasil melumpuhkan Palembang dan Sultan Mahmud BAdaruddin II pun menyingkir ke pedalaman. Setahun kemudian Sultan Mahmud BAdaruddin II berhasil kembali ke Palembang dengan Perjanjian Muara Rawas yang dibuat pada 29 Juni 1813, perjanjian ini menyatakan Sultan Mahmud Badaruddin II dapat kembali ke Palembang dengan imbalan 200.000 dollar kepada pemerintah Inggris. Tanggal 13 Juli 1813 Sultan Mahmud Badaruddin II kembali ke Palembang dan kembali menjadi sultan yang hanya bertahan sebulan dikarenakan ia dipecat oleh komisi yang dikirimkan oleh Raffles.

       Saat Belanda kembali ke Palembang, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali menjabat sebagai sultan. Setelah ia menjabat terdapat pula Perang I, II dan III di Palembang yang pada akhirnya membuat Sultan Mahmud Badaruddin menyerah. Dengan pertimbangan agar tidak terjadi pertempuran yang sangat dahsyat, yang akan mengorbankan seluruh rakyatnya dan keluarganya. Ia pun menunjukkan kebijaksanaanya yaitu menyerahkan kekuasaan Sultan kepada kemenakannya yaitu Prabu Anom putra saudaranya Husin Dhiauddin, menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV pada tanggal 29 Juni 1821. Akhirnya pada tanggal 13 Juli 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II beserta sebagian keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia (sekarang Jakarta), Sultan Mahmud Badaruddin II dan keluarganya diasingkan ke Pulau Ternate sampai ia meninggal pada 26 September 1852.

       Karena jasanya yang terus mempertahankan Palembang dari penjajah, Sultan Mahmud Badaruddin II dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK No. 63/TK/1984 di Jakarta (Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II), tertanggal 29 Oktober 1984.


12.Teuku Umar


       Teuku Umar, adalah salah satu pahlawan terbesar rakyat Aceh. Perjuangannya memimpin perlawanan rakyat Aceh dalam upayanya mengusir penjajahan Belanda dari tanah Rencong, adalah sebuah perjuangan dan pengabdian luar biasa untuk rakyat Aceh dan bangsa Indonesia pada umumnya.

       Teuku Umar yang lahir di Meulaboh Aceh Barat pada tahun 1854, merupakan putera seorang Uleebalang bernama Teuku Mahmud dari perkawinannya dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Leluhur Teuku Umar adalah Datuk Makhudum Sati berasal dari Minangkabau. Dia merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.

       Saat Teuku Umar berusia 19 tahun, meletuslah perang Aceh pada 1873. Umar muda pun turut berjuang di kampung halamannya, hingga ke wilayah Aceh Barat. Karena keberanian dan jiwa kepemimpinannya, dalam usia yang relatif muda Umar sudah diangkat sebagai Keuchik Gampong atau kepala desa di Daya Meulaboh. Menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar lantas menikahi seorang puteri dari Uleebalang Glumpang.

        Teuku Umar juga kemudian menikahi Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Pada 1880, Teuku Umar lantas menikahi Cut Nyak Dien, seorang janda dari Teuku Ibrahim Lamnga yang gugur dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun pada 1878. Teuku Umar dan Cut Nyak Dien lantas berjuang bersama melawan Belanda.

        Teuku Umar juga pernah diberi gelar Teuku Johan Pahlawan oleh Belanda. Umar pernah berpura-pura menyerah dan berdamai dengan Belanda pada 1883, sebagai bagian dari strateginya untuk bisa mendapatkan persenjataan dari Belanda. Gubernur Jenderal Belanda Van Teijn lantas berusaha untuk mendapatkan hati rakyat Aceh dengan memanfaatkan Teuku Umar.

        Saat dirinya bergabung dengan Belanda, Teuku Umar lantas berusaha menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Hal itu dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi pihak Belanda agar Teuku Umar bisa diberi peran yang lebih besar oleh belanda. Strategi Umar pun berhasil dan Belanda mengabulkan permintaan Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Panglima Laut.

        Pada tahun 1884, Teuku Umar pernah ditugasi Belanda untuk membebaskan kapal Nicero milik Inggris yang disandera oleh Raja Teunom. Peristiwa penyanderaan kapal Nicero ini sempat menyulut ketegangan antara Belanda dan Inggris. Teuku Umar pun menyatakan diri sanggup membebaskan kapal tersebut asal diberi persenjataan dan logistik yang banyak

         Teuku Umar lantas berangkat menggunakan kapal Bengkulen ke Aceh Barat dengan membawa perbekalan perang yang cukup, beserta 32 tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Namun tak lama setelah Umar berlayar, Belanda dikejutkan oleh berita yang menyatakan bahwa seluruh tentara Belanda yang ikut dibunuh di tengah laut. Semua senjata dan perlengkapan perang lainnya juga dirampas. Sejak itu, Teuku Umar pun kembali berpihak pada rakyat Aceh.
        Setelah berhasil membawa persenjataan milik Belanda, Teuku Umar lantas membagikan senjata-senjata hasil rampasan tersebut kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Teuku Umar berhasil merebut kembali beberapa daerah yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda.
Pada 15 Juni 1886, kapal Hok Canton yang dinakhodai pelaut Denmark bernama Kapten Hansen merapat ke bandar Rigaih. Kapten Hansen bermaksud menukarkan senjata dengan lada, yang tujuannya adalah untuk menjebak Umar agar naik ke kapalnya. Kapten Hansen berniat menculik Teuku Umar dan membawa lari lada yang akan dimuat ke pelabuhan Ulee Lheu, untuk memudian diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan $ 25 ribu sebagai imbalannya.
        Namun Umar yang sudah curiga ini lantas mengatur siasat. Pagi dini hari, salah satu Panglima bersama 40 orang prajuritnya diperintahkan untuk menyusup ke kapal, tanpa disadari oleh Kapten Hansen yang terkepung.
Esoknya, Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu, tetapi Hansen malah ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar yang memang sudah siap lantas memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melumpuhkan Hansen. Mendapati rencananya gagal, Belanda pun sangat marah pada Teuku Umar.
Peperangan antara rakyat Aceh melawan Belanda pun terus berlanjut. Pada tahun 1891, Teungku Cik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII gugur dalam pertempuran. Meski demikian, Belanda juga sangat kesulitan dalam perang melawan rakyat Aceh ini. Perang yang terus berlangsung dalam waktu cukup lama ini telah membuat Belanda harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.
       Di pihak lain, Teuku Umar sendiri merasa bahwa perang ini sangat menyengsarakan rakyat karena mereka tak bisa lagi bekerja dengan leluasa. Teuku Umar pun merubah strategi dan kembali menyerah pada 1893. Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya. Saat itulah, Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland

       Setelah sekian lama menjadi pemimpin prajurit Belanda, pada 30 Maret 1896, Teuku Umar kembali memimpin rakyat Aceh dan keluar dari kesatuan militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Berita larinya Teuku Umar menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda hingga Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter.
       Belanda pun segera mendatangkan pasukan bantuan dari Jawa dan Gubernur Vetter ultimatum agar Umar menyerahkan kembali semua senjatanya. Karena Umar tidak mau memenuhi tuntutannya, pada tanggal 26 April 1896 gelar Teuku Johan Pahlawan sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda dicabut.
       Setelah itu, Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Umar pun menjadi pemimpin seluruh rakyat Aceh melawan Belanda pada tahun 1896, dengan dibantu oleh Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Untuk pertamakalinya rakyat Aceh berjuang dalam satu komando.
       Teuku Umar bersama pasukannya tiba di wilayah Pidie pada Februari 1898 dan bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.
Belanda yang mendapat laporan kedatangan Teuku Umar yang bergerak menuju Meulaboh ini segera menempatkan pasukannya untuk mencegat di perbatasan Meulaboh. Pada Februari 1899 pasukan Teuku Umar yang tiba di pinggiran kota Meulaboh ini terkejut karena dihadang pasukan Belanda.
       Mendapat serangan secara tiba-tiba, Teuku Umar dan pasukannya yang dalam posisi terjepit ini tak bisa mundur untuk mengatur siasat. Saat itu, bertempur adalah satu-satunya jalan untuk bisa selamat. Teuku Umar pun gugur dalam pertempuran ini karena tertembak di bagian dadanya. Jenazah pahlawan besar Aceh ini kemudian dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh.
       Cut Nyak Dhien yang bersedih mendengar suaminya gugur ini lantas bertekad untuk meneruskan perjuangannya dan memimpin perjuangan rakyat Aceh. Atas jasa-jasanya terhadap rakyat Aceh dan bangsa Indnesia, Teuku Umar kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar banyak diabadikan sebagai nama jalan, lembaga pendidikan dan sekolah termasuk sebuah kapal perang milik TNI AL. mch

Sumber"http://www.dotgo.id/2017/07/pahlawan-nasional-indonesia-teuku-umar.html"


Baca Juga: Sejarah singkat Kepulauan Riau dan Para Pahlawan yang berjasa

13.Cut Nyak Dien


      Cut Nyak Dhien adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh, Ia lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, tahun 1848.

      Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

      Ketika kecil Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.


Perlawanan saat Perang Aceh
      Perang Aceh pun meletus, diawali dengan pernyataan perang Belanda kepada Aceh pada tanggal 26 Maret 1873, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.

       Di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

      Hal yang membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda adalah ketika Ibrahim Lamnga tewas pada tanggal 29 Juni 1878 dalam pertempuran di Gle Tarum.

      Setelah Cut Nyak Dhien menjanda, datanglah Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, dan melamarnya. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.

       Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

       Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).

       Belanda yang merasa dihianati oleh Teuku Umar akhirnya marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.

        Penekananpun terus dilakukan oleh Dien dan Umar kepada Belanda, dengan menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.

        Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:

“Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”

        Setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulit memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.

        Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda.Cut Nyak Dhien ditangkap, sementara Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.


Masa tua dan kematian
       Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

       Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu".

       Karena usianya yang sudah tua, Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.


Makam
        Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan. Pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran. Selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November.

       Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pada tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beton dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama H. Sanusi.

       Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surah At-Taubah dan Al-Fajr, serta hikayat cerita Aceh. Jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien berkurang karena Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia. Selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat. Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.


Sumber"https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/01/Biografi-Cut-Nyak-Dhien-Pahlawan-Nasional-dari-Aceh.html"


Baca Juga: SEJARAH PULAU WEH DAN TOKOH PAHLAWAN ACEH

14.Teuku Cik Ditiro


      Teuku Cik Di Tiro adalah pahlawan nasional dan tokoh penting yang berjasa melawan kolonial Belanda. Teuku Cik Di Tiro bernama asli Muhammad Saman. Ia lahir di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, daerah Pidie, Aceh pada tahun 1836 bertepatan dengan 1251 Hijriyah. Masa kecilnya dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat.

      Cik Di Tiro merupakan keturunan dari pasangan Teuku Syekh Ubaidillah dan Siti Aisyah. Salah satu cucunya adalah Hasan Di Tiro, pendiri dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka. Ia sangat dihormati karena ilmu dan keberaniannya melawan imperialisme dan kolonialisme.

      Dalam meneguhkan ilmu agamanya, Cik Di Tiro banyak belajar kepada para ulama terkenal di daerah Tiro. Itu pula lah sebabnya ia dipanggil dengan sebutan Teuku (Teungku) Cik Di Tiro. Ia memang dikenal sebagai anak yang suka belajar agama dan mendalami ilmu-ilmu baru.

      Ketika menunaikan ibadah haji di Mekkah, Saudi Arabia,  ia terus memperdalam ilmu agamanya di Tanah Suci tersebut.  Ia dibesarkan pada periode dimana Belanda berusaha menaklukkan bumi Aceh pada tahun 1873. Aceh Besar saat itu berhasil dikalahkan dan berada dalam kekuasaan colonial Belanda.

     Ketika berada di Mekkah dalam rangka menunaikan haji, Cik Di Tiro juga belajar tentang cara-cara melawan kolonialisme dan imperialisme. Saat kembali ke Aceh, ia menjadi pemimpin pergerakan yang berujung pecahnya pertempuran melawan Belanda. Karena semangat juangnya, ia dijuluki sebagai Panglima Sabil atau pemimpin perang Sabil. Kesultanan Aceh mempercayainya sebagai pemimpin perang, dan perjuangan dilakukan atas dasar agama dan kebangsaan.

      Ia dan pasukannya berhasil mengambil alih wilayah jajahan yang sebelumnya dikuasai Belanda. Pada tahun 1881, benteng Belanda di Indrapura berhasil direbutnya. Kemudian benteng Lambaro, Aneuk Galong, dan tempat lainnya.

      Pulau Breuh pun mendapat serangan, dari situ pasukan Cik Di Tiro bermaksud merebut Banda Aceh. Kompeni Belanda jadi kewalahan dan daerah Aceh yang masih mereka kuasai tidak lebih dari empat kilometer persegi.

      Perlawanan yang dilancarkan Teuku Cik Di Tiro dan pasukannya tak obahnya seperti singa. Mereka memilih roboh dalam nyala api yang membakar benteng daripada menyerah.

      Belanda pun semakin terdesak dan hanya bertahan di dalam benteng di wilayah Banda Aceh. Untuk mempertahankan wilayahnya, Belanda terpaksa menggunakan taktik uni konsentrasi (concentratie stelsel), yaitu membuat benteng di sekelilingnya.

      Merasa kewalahan dengan serangan Cik Di Tiro dan pasukannya, Belanda pun mendatangkan bala bantuan dengan perlengkapan perang dalam jumlah besar-besaran. Pada tahun 1873 Belanda melancarkan aksi balas dendam untuk merebut kembali daerah kekuasaannya.

      Pada penyerangan pertama, pasukan Belanda melakukan aksinya namun dapat digagalkan. Perang tersebut memakan korban bagi pihak Belanda dengan tewasnya pimpinan mereka yaitu Mayor Jenderal Kohler.

      Kegagalan ini membuat Belanda kian geram, akhirnya mereka memperkuat barisan pasukannya dengan tembakan meriam dari kapal perang yang berlabuh di pantai. Alhasil keadaan tersebut membuat pasukan Cik Di Tiro mulai mundur.

Kematian Cik Di Tiro
      Belanda menyadari bahwa sumber semangat perjuangan Aceh kala itu ialah Teuku Cik Di Tiro. Untuk menghentikannya, Belanda pun mencari siasat untuk membunuh Panglima Sabil itu. Mereka tidak mau kehabisan akal. Karena merasa terancam, Belanda akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang dibubuhi racun.

      Cara licik itu dipergunakan Belanda untuk membunuh pahlawan kebanggaan rakyat Aceh itu. Mereka meracuni Teuku Cik Di Tiro dengan makanan lewat bantuan pekerja kerajaan. Ketika itu Belanda membujuk seseorang yang bersedia bekerja sama diangkat menjadi Kepala Sagi.

      Mereka membayar seorang laki-laki yang ingin mendapat jabatan tinggi untuk membunuh Cik Di Tiro. Kemudian,laki-laki itu menyuruh seorang wanita memasukkan racun ke dalam makanan dan memberikannya kepada Cik Di Tiro.

      Saat Teuku Cik Di Tiro mengunjungi Benteng Tui Seilimeung lalu salat di masjid. Setelah itu, perempuan tersebut datang menawarkan makanan. Perempuan ini merupakan suruhan laki-laki yang telah dibayar Belanda. Tanpa curiga sedikit pun, Cik Di Tiro menyantap makanan yang telah dibubuhi racun.

      Akibatnya, pahlawan Aceh itu jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Benteng Aneuk Galong pada bulan Januari 1891. Kemudian jasadnya dimakamkan di Meureu, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar beserta istrinya, Teuku Mat Amin. Sejumlah pejuang Aceh serta orang dekat keluarga Tiro dimakamkan di Meureue, termasuk juga cucunya Hasan Tiro.

      Walaupun Teuku Cik Di Tiro telah meninggal dunia, perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda terus bergelora. Peperangan melawan penjajah terus dilakukan sampai bertahun-tahun lamanya. Dan akhirnya Belanda baru bisa menguasai Aceh pada tahun 1904 dengan plakat pendeknya.

      Selama Cik Di Tiro memimpin peperangan di Aceh, terjadi 4 kali pergantian gubernur Belanda yaitu, Abraham Pruijs van der Hoeven (1881-1883), Philip Franz Laging Tobias (1883-1884), Henry Demmeni (1884-1886), Henri Karel Frederik van Teijn (1886-1891).

      Untuk menghargai dedikasinya sebagai seorang pahlawan yang telah berjasa mempertahankan Tanah Air dari ancaman penjajah, ia mendapatkan penghargaan khusus dari pemerintah.

       Kegigihan yang dilakukan oleh Teuku Cik Di Tiro dalam membela bangsa Indonesia membuat Pemerintah RI mengangkatnya sebagai Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan pada tanggal 6 November 1973. Pemberian gelar pahlawan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 087/TK/Tahun 1973.

       Di ibukota Jakarta, namanya diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat menggantikan nama Jalan Mampangweg.

Sumber"https://daerah.sindonews.com/read/1254514/29/teuku-cik-di-tiro-pahlawan-aceh-yang-bikin-belanda-kewalahan-1509804207/13"


15.Cut Nyak Meutia


       Cut Nyak Meutia dikenal sebagai pahlawan wanita Indonesia asal Aceh. Tokoh ini dikenal karena perjuanganya bersama dengan suaminya melawan penjajah Belanda.

       Cut Meutia merupakan salah satu tokoh dalam sejarah perjuangan perlawanan rakyat Aceh terhadap belanda. Cut Meutia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 1964 dari pemerintah Indonesia atas jasa-jasanya melawan penjajah Belanda.

Biografi dan Profil Cut Nyak Meutia
       Mengenai masa kecilnya, Cut Nyak Meutia lahir pada tahun 1870 di daerah Pirak, Aceh Utara. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak seorang ulubalang (pemimpin pemerintahan) daerah Pirak dan ibunya bernama Cut Jah.

      Cut Meutia merupakan anak perempuan satu-satunya dikeluarga tersebut. Ia mempunyai empat saudara laki-laki yaitu Teuku Cut Beurahim, Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad Ali.

      Ayahnya Cut Meutia yakni Teuku Ben Daud Pirak dikenal sebagai pemimpin pemerintahan yang bijaksana dan tegas di daerah Pirak.

      Ia juga dikenal sebagai seorang ulama di daerah tersebut. Daerah Pirak sendiri merupakan daerah yang memiliki sistem pemerintahan tersendiri.

      Menjelang dewasa, Cut Meutia menikah dengan pemuda bernama Teuku Syamsarif yang dikenal dengan sebutan Teuku Chik Bintara. Namun pernikahan mereka tidak berlangsung lama sebab watak suaminya yang dianggap lemah dan selalu ingin bekerja sama dengan Belanda ketika itu.

      Cut Meutia kemudian menikah dengan Teuku Chik Muhammad dikenal sebagai Teuku Chik Tunong. Suminya ini adalah saudara dari Teuku Syamsarif, yang merupakan suaminya terdahulu.

      Persamaan visi dengan Teuku chik Tunong yang sama-sama menentang penjajahan Belanda di bumi Aceh membuat Cut Meutia dan suaminya hijrah ke gunung dan melakukan perlawanan dengan Belanda dengan taktik gerilya.

Perjuangan Cut Meutia dan Teuku Cik Tunong Melawan Belanda
Awalnya perlawanan Cut Meutia melawan Belanda dimulai pada tahun 1901. Ketika itu Sultan Aceh yakni Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah melakukan perlawanan hingga ke pedalaman Aceh.

Membantu perjuangan Sultan Aceh, Perang sengit terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh suami Cut Meutia yakni Teuku Chik Muhammad melawan Belanda yang terjadi dari Juni hingga agustus 1902.

Namun di bulan Januari 1903, tersiar kabar bahwa Sultan Aceh berserta para panglimanya termasuk panglima Polim Muhammad Daud dan para petinggi kerajaan lain mneyerah atau turun gunung. Walaupun kabar ini awalnya diragukan oleh suami Cut Meutia namun ternyata kabar tersebut benar adanya.

Menurut buku catatan Gedenkboek van het Korps Marechaussee van Atjeh en Onderhoorigheden tahun 1890 – 1940 disebutkan bahwa Teuku Chik Muhammad turun gunung dan melapor di Lhokseumawe pada bulan oktober 1903.

Teuku Tunong dan Cut Meutia kemudian tinggal di wilayah Keureutoe namun pindah ke wilayah Panton Labu. Namun karena insiden di daerah Meunasah Meurandeh Paya membuat suami Cut Meutia, yakni Teuku Tunong ditangkap Belanda karena diduga terlibat dalam pembunuhan pasukan Belanda. Suaminya dieksekusi dengan cara ditembak mati di tepi pantai Lhokseumawe.

Dari pernikahannya dengan Teuku Cik Tunong, Cut Meutia memiliki seorang anak bernama teuku Raja Sabi. Namun sebelum meninggal, Teuku Cik Tunong berwasiat kepada Pang Nangroe agar menikahi istrinya dan menjaga anaknya.

Perjuangan Cut Meutia dan Pang Nangroe Melawan Belanda
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nangroe sesuai wasiat dari suaminya terdahulu sebelum meninggal. Setelah menikah, perjuangan melawan Belanda kembali dimulai dengan basis perlawanan di daerah Buket Bruek Ja.

Perlawanan dilakukan dengan strategi yang sudah diatur oleh Pang Nangroe dengan taktik gerilya di hutan-hutan dan kemudian menyerang pos-pos penjagaan pasukan Belanda.


Di tahun 1907, Pasukan Pang Nangroe bersama Cut Meutia menyerang pos dari pasukan Belanda yang mengaawal para pekerja kereta api. Penyerangan itu membuat beberapa serdadu Belanda tewas dan yang lainnya luka-luka.

Di bulan Juni 1907, Pasukan pang Nangroe kemudian menyerang pos Belanda di daerah Keude Bawang yang mengakibatkan seorang serdadu Belanda tewas dan yang lainnya terluka.

Serta sabotase jalur logistik dan kereta api membuat, taktik perang gerilya yang dilakukan oleh Pang Nangroe bersama Cut Meutia membuat Belanda kesulitan dalam mengatasinya.

Belanda sempat mengetahui basis pertahanan Pang Nangroe dan Cut Meutia pada bulan agustus 1910 namun sebelum dilakukan pengepungan oleh Belanda, Pasukan Pang nagroe bersama Cut Meutia sudah berpindah tempat terlebih dahulu.

Penyerangan pos-pos Belanda terus dilakukan untuk melemahkan kekuatan Belanda. namun pada bulan september 1910, Pang Nangroe gugur setelah terkena tembakan dari Belanda di wilayah Paya Cicem dan dimakamkan di samping masjid Lhoksukon.

Sepeninggal suaminya, Cut Meutia kemudian mengambil alih kepemimpinan pasukan dan melanjutkan perlawanannya dengan Belanda. Untuk itu basis pertahanan kemudian pindah ke Gayo dan Alas dan bergabung dengan pasukan lain yang dipimpin oleh Teuku Seupot Mata.

Cut Meutia Wafat
Di bulan Oktober 1910, Pasukan Belanda semakin mengintensifkan pengejaran terhadap pasukan Cut Meutia. Merasa posisinya semakin terjepit membuat Cut Meutia memindahkan pasukannya dari gunung ke gunung untuk menghindari pengepungan yang dilakukan Belanda.

Namun pada tanggal 24 oktober 1910 di daerah Alue Kurieng, Pasukan Belanda pertempuran sengit terjadi antara pasukan yang dipimpin oleh Cut Meutia dan pasukan Belanda. Dalam pertempuran itu Cut Meutia akhirnya gugur. Sebelum wafat, Cut Meutia menitipkan anaknya kepada teuku Syech Buwah untuk dijaga.

Atas jasa-jasanya, Cut Meutia kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Indonesia oleh pemerintah Indonesia melalui SK Presiden Nomor 107/1964 di tahun 1964. Pemerintah Indonesia juga mengabadikannya dalam pecahan uang mata uang rupiah pada tahun 2016.

Diabadikannya foto Cut Meutia dalam pecahan uang kertas rupiah oleh pemerintah pada tahun 2016 menimbulkan polemik mengenai wajah asli Cut Meutia. Banyak pihak yang menganggap bahwa foto dalam uang kertas tersebut bukanlah wajah asli dari Cut Meutia.

Foto wajah Cut Meutia bersumber dari hasil jepretan fotografer Belanda bernama Christiaan Benjamin Nieuwenhuis pada tahun 1901.

Foto tersebut kemudian dijadikan postcard (kartu pos) dan digunakan hingga tahun 1905. Sampai sekarang foto tersebut masih bisa dilihat di situs KITLV Universitas Leiden Belanda.

Foto yang diambil pada tahun 1901 itu diberi nama ‘Voorname Atjehsche vrouw (Perempuan Aceh)’ dengan kode 82872. Jika itu merupakan sosok asli dari Cut Meutia maka keterangannya pastilah diberi nama Cut Meutia bukan Voorname Atjehsche vrouw (Perempuan Aceh).

Dan juga pada tahun 1901 ketika foto tersebut diambil, tahun itu merupakan masa dari dimulainya perang oleh Cut Meutia melawan Belanda di pedalaman Aceh.



Sumber Lain:
http://id.wikipedia.org/wiki/Sumatera
http://sains.kompas.com/read/2013/11/14/0858354/Menggugat.Asal-usul.Pulau.Sumatera
https://www.biografiku.com/2018/01/biografi-dan-profil-lengkap-cut-nyak-meutia-pahlawan-wanita-indonesia-dari-ace.html




    Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
  • MENGENAL RAJA DEMAK SUNAN PRAWOTO (1546-1549)
  • Sejarah Demak Jateng beserta Para Pejuangnya
  • Sejarah Kota Pangkalan Berandan
  • Sejarah Demarkasi Gebang Pangkalan Berandan
  • Awal Mula PT Pertamina EP Pangkalan Susu
  • Sejarah Awal Mula Kota Pangkalan Susu
  • RAJA PERTAMA BATUBARA
  • Tokoh Pahlawan Raja Abdu'l Jalil
  • Sultan Iskandar Muda
  • Sejarah Kabupaten Asahan beserta Tokoh perjuangannya
  • Pemerintahan Sultan Trenggono ( 1521 – 1546 ) di demak
  • Pahlawan Pati Unus ( 1518 – 1521 ) perjuangan demak
  • pemerintahan Raden Patah ( 1500 – 1518 ) di daerah demak
  • Sejarah Kerajaan Demak dengan peninggalan pra-sejarahnya Mesjid Agung Demak
  • Sejarah Sumatera beserta Tokoh Perjuangannya yang patut untuk di kenali
  • Kepulauan Riau Sejarah singkat dan Para Pahlawan yang berjasa
  • Sejarah BANDUNG singkat beserta Tokoh Pahlawan Perjuangannya.
  • SEJARAH PULAU WEH DAN TOKOH PAHLAWAN ACEH
  • Comments