- Raja-Raja Kerajaan Demak:
- Raden Patah (1478-1518)
- Pati Unus (1518-1521)
- Trenggana (1521-1546)
- Sunan Prawoto (1546-1549)
MENGENAL RAJA DEMAK RADEN PATAH (1518-1521)
Menurut wikipedia Raden Patah alias Jin Bun (Hanzi : 靳文, Pinyin : Jìn Wén) bergelar Senapati Jimbun atau Panembahan
Jimbun (lahir: Palembang, 1455; wafat: Demak, 1518) adalah pendiri dan sultan Demak pertama dan memerintah tahun 1500-
1518. Menurut kronik Tiongkok dari Kuil Sam Po Kong Semarang, ia memiliki nama Tionghoa yaitu Jin Bun tanpa nama marga di
depannya, karena hanya ibunya yang berdarah Tionghoa. Jin Bun artinya orang kuat. Nama tersebut identik dengan nama
Arabnya "Fatah (Patah)" yang berarti kemenangan. Pada masa pemerintahannya Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia
dimakamkan di sana.
Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M. C.
Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po (Pate Rodin senior). Ricklefs
memperkirakan bahwa anaknya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim (Adipati/Patih
Rodim)", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun 1504). Putera atau adik Rodim dikenal
dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak atas Jawa.
Kenyataan tokoh Raden Patah berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak ketiga, yang memerintah tahun 1521-1546.
Tentang asal usul pendiri Kerajan Demak Raden Patah.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja
terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Tionghoa. Selir Tionghoa ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go
Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir
Cina kepada adipati nya di Palembang, yaitu Arya Damar . Setelah melahirkan Raden Patah, putri Tionghoa dinikahi Arya
Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).
Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Tionghoa adalah Siu Ban
Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh
Bantong (alias Kyai Batong).
Menurut Suma Oriental karya Tome Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah di Gresik.
Menurut kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong, nama panggilan waktu Raden
Patah masih muda adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias Bhre Kertabhumi alias Brawijaya V) raja Majapahit (versi
Pararaton) dari selir Tiongkok. Kemudian selir Tionghoa diberikan kepada seorang berdarah setengah Tionghoa bernama Swan
Liong di Palembang. Swan Liong merupakan putra Yang-wi-si-sa (alias Hyang Purwawisesa atau Brawijaya III) dari seorang
selir Cina. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San (alias Raden Kusen). Kronik Cina ini memberitakan tahun kelahiran Jin
Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478). Menurut
Slamet Muljana (2005), Babad Tanah Jawi teledor dalam mengidentifikasi Brawijaya sebagai ayah Raden Patah sekaligus ayah
Arya Damar, yang lebih tepat isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal bahwa ayah Swan Liong (alias
Arya Damar) adalah Yang-wi-si-sa alias Brawijaya III, berbeda dengan ayah Jin Bun (alias Raden Patah) yaitu Kung-ta-bu-mi
alias Brawijaya V.[3]
Menurut Sejarah Banten, Pendiri Demak bernama Cu Cu (Gan Eng Wan?),
putra (atau bawahan) mantan perdana menteri Tiongkok (Haji Gan Eng Cu?) yang pindah ke Jawa Timur. Cu Cu mengabdi ke
Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah
Jawi, Arya Dilah adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas jasa-jasanya, Cu Cu
menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak bergelar Arya Sumangsang (Aria Suganda?).
Meskipun terdapat berbagai versi, namun diceritakan bahwa pendiri Demak memiliki hubungan dengan Majapahit, Tiongkok,
Gresik, dan Palembang.
Babad Tanah Jawi menyebutkan, Raden Patah menolak menggantikan Arya
Damar menjadi Adipati Palembang. Ia kabur ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada
Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka
hutan Glagahwangi menjadi sebuah pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi semakin maju. Brawijaya (alias Bhre
Kertabhumi) di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi
Adipati Terung diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden Patah ke Majapahit. Brawijaya
(diidentifikasi sebagai Brawijaya V) merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden Patah sebagai putranya. Raden Patah
pun diangkat sebagai bupati, sedangkan Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun pindah dari Surabaya ke Demak tahun
1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi (alias Bhre
Kertabhumi) di Majapahit resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi bersedia mengakui
Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai bupati di Bing-to-lo (ejaan China untuk Bintoro).
Versi Perang antara Demak dan Majapahit diberitakan dalam naskah babad
dan serat, terutama Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada
Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah. Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah
tetap menyerang Majapahit. Brawijaya moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri
menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Versi Kronik Tiongkok dari kuil Sam Po Kong juga memberitakan adanya
perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun 1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel).
Jin Bun menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap dan dipindahkan ke Demak secara
hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan Demak dengan dipimpin seorang Tionghoa muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai
bupati.
Versi Prof. Dr. N. J. Krom dalam buku “Javaansche Geschiedenis” dan Prof.
Moh. Yamin dalam buku “Gajah Mada” mengatakan bahwa bukanlah Demak yg menyerang Majapahit pada masa Prabu Brawijaya V,
tetapi adalah Prabu Girindrawardhana. Kemudian pasca serangan Girindrawardhana atas Majapahit pada tahun 1478 M,
Girindrawardhana kemudian mengangkat dirinya menjadi raja Majapahit bergelar Prabu Brawijaya VI, Kekuasaan
Girindrawardhana tidak begitu lama, karena Patihnya melakukan kudeta dan mengangkat dirinya sebagai Prabu Brawijaya VII.
Perang antar Demak dan Majapahit terjadi pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya VII bukan pada masa Raden Fatah dan Prabu
Brawijaya V.
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati karena pemberontakan kaum pribumi. Maka,
Jin Bun mengangkat seorang pribumi sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias
Dyah Ranawijaya yang menerbitkan prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga mengeluarkan prasasti Petak yang
berkisah tentang perang melawan Majapahit. Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena
serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Apakah Raden Patah pernah menyerang Majapahit atau tidak, dia diceritakan
sebagai raja pertama Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan
Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar, dan dalam Hikayat
Banjar disebut Sultan Surya Alam.
Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang
Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan Masjid Agung Demak sebagi pusat
pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama
lain, sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa kembali menjadi masjid, sebagaimana
dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana
wasiat Sunan Ampel, gurunya. Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu dilatarbelakangi
persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga
memberitakan kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresik.
Tome Pires dalam Suma Oriental memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin
alias Raden Patah meresmikan Masjid Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate
Unus bupati Jepara menyerang Portugis di Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam kronik Tiongkok yang
diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512. Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin,
sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis ataupun sumber Tiongkok, sama-sama
menyebutkan armada Demak hancur dalam pertempuran ini.
Menurut kronik Tiongkok, Jin Bun alias Raden Patah meninggal dunia tahun
1518 dalam usia 63 tahun. Ia digantikan Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran
Sabrang Lor.
Menurut naskah babad dan serat, Raden Patah memiliki tiga orang istri.
Yang pertama adalah Solekha anak dari Malokha putri Sunan Ampel, Malokha adalah isteri dari P. Wironegoro Lasem,
melahirkan Raden Kikin alias Surowiyoto dan Ratu Mas Nyawa. Isteri kedua melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang
masing-masing secara berurutan kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Istri yang ketiga seorang putri dari Randu Sanga, melahirkan Raden
Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.
Ketika Pangeran Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden
Trenggana bersaing memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden Trenggana yang bernama Raden
Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen,
artinya bunga yang gugur di sungai.
Kronik Tiongkok hanya menyebutkan dua orang putra Jin Bun saja, yaitu
Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Dalam Suma Oriental, Tomé Pires menulis bahwa Pate Rodin memiliki putera
yang juga bernama Pate Rodim, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini menyebut Pate Rodin Yunior lebih
tua usianya daripada Pate Unus. Dengan kata lain Sultan Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.
MENGENAL RAJA DEMAK PATI UNUS (1518-1521)
Pati Unus / Pangeran Sabrang Lor (1480–1521) adalah Sultan Demak kedua
yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah menantu Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak. Pada tahun 1521,
Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan
oleh adik iparnya, Sultan Trenggana.
Nama asli beliau Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari
Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh
Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal
1400-an masehi.
Silsilah Syekh ini yang bernama lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh
Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari
(wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf Al Mukhrowi (wafat di Parsi) bin Imam Besar
Hadramawt Syekh Muhammad Al Faqih Al Muqaddam. Imam Faqih Muqaddam seorang Ulama besar sangat terkenal di abad 12-13 M
yang merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad, Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu Sirruhu) putra Imam Besar
Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri
seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang
Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putra beliau
adalah Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang
masih ada perkampungan Muslim. Seorang putra beliau dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden
Rahmat atau terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuan beliau dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau
Jawa untuk ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa.
Dalam tradisi Jawa, Pati Unus atau Adipati Unus atau 逸孫 Yat Sun[1]
(1480?–1521) adalah raja Demak kedua, yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung/menantu Raden
Patah, pendiri Demak. Pada tahun 1521, Pati Unus memimpin penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus
gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik kandungnya, raja Trenggana.[1]
Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor
(sabrang=menyeberang, lor=utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis.
Nama aslinya adalah Raden Surya. Dalam Hikayat Banjar, raja Demak yaitu
Sultan Surya Alam telah membantu Pangeran Samudera, penguasa Banjarmasin untuk mengalahkan pamannya penguasa kerajaan
Negara Daha yang berada di pedalaman Kalimantan Selatan.
Dalam Suma Oriental-nya, Tomé Pires menyebut seorang bernama "Pate Onus"
atau "Pate Unus", ipar Pate Rodim, "penguasa Demak". Mengikuti pakar Belanda Pigeaud dan De Graaf, sejarahwan Australia M.
C. Ricklefs menulis bahwa pendiri Demak adalah seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po. Ricklefs memperkirakan bahwa
anaknya adalah orang yang dijuluki "Pate Rodim", mungkin maksudnya "Badruddin" atau "Kamaruddin" (meninggal sekitar tahun
1504). Putera atau adik Rodim dikenal dengan nama Trenggana (bertahta 1505-1518 dan 1521-1546), pembangun keunggulan Demak
atas Jawa.
Kenyataan tokoh Pati Unus berbenturan dengan tokoh Trenggana, raja Demak
ketiga, yang memerintah tahun 1505-1518, kemudian tahun 1521-1546.
Daftar isi [sembunyikan] 1 Silsilah 1.1 Kiprah 2 Ekspedisi
Jihad II 3 Keturunan 4 Kiprah Putra Pati Unus di Banten 5 Kiprah Putera Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan
Timur) 6 Sumber 7 Referensi Silsilah[sunting | sunting sumber] Menurut sebuah riwayat, ia adalah menantu
Raden Patah. Nama aslinya adalah Raden Abdul Qadir putra Raden Muhammad Yunus dari Jepara. Raden Muhammad Yunus adalah
putra seorang Muballigh pendatang dari Parsi yang dikenal dengan sebutan Syekh Khaliqul Idrus. Muballigh dan Musafir besar
ini datang dari Parsi ke tanah Jawa mendarat dan menetap di Jepara di awal 1400-an masehi. Silsilah Syekh ini yang bernama
lengkap Abdul Khaliq Al Idrus bin Syekh Muhammad Al Alsiy (wafat di Parsi) bin Syekh Abdul Muhyi Al Khayri (wafat di
Palestina) bin Syekh Muhammad Akbar Al-Ansari (wafat di Madina) bin Syekh Abdul Wahhab (wafat di Mekkah) bin Syekh Yusuf
Al Mukhrowi (wafat di Parsi) merupakan keturunan cucu Nabi Muhammad generasi ke 19, ia memiliki ibu Syarifah Ummu Banin
Al-Hasani (keturunan Imam Hasan bin Fathimah binti Nabi Muhammad) dari Parsi (dari Catatan Sayyid Bahruddin Ba'alawi
tentang ASYRAF DI TANAH PERSIA, di tulis pada tanggal 9 September 1979), Sayyidus Syuhada Imam Husayn (Qaddasallohu
Sirruhu) putra Imam Besar Sayyidina Ali bin Abi Talib Karromallohu Wajhahu dengan Sayyidah Fatimah Al Zahra.
Setelah menetap di Jepara, Syekh Khaliqul Idrus menikah dengan putri
seorang Muballigh asal Gujarat yang lebih dulu datang ke tanah Jawa yaitu dari keturunan Syekh Mawlana Akbar, seorang
Ulama, Muballigh dan Musafir besar asal Gujarat, India yang mempelopori dakwah diAsia Tenggara. Seorang putranya adalah
Syekh Ibrahim Akbar yang menjadi Pelopor dakwah di tanah Campa (di delta Sungai Mekong, Kamboja) yang sekarang masih ada
perkampungan Muslim. Seorang putranya dikirim ke tanah Jawa untuk berdakwah yang dipanggil dengan Raden Rahmat atau
terkenal sebagai Sunan Ampel. Seorang adik perempuannya dari lain Ibu (asal Campa) ikut dibawa ke Pulau Jawa untuk
ditawarkan kepada Raja Brawijaya sebagai istri untuk langkah awal meng-Islam-kan tanah Jawa.
Raja Brawijaya berkenan menikah tapi enggan terang-terangan masuk Islam.
Putra yang lahir dari pernikahan ini dipanggil dengan nama Raden Patah. Setelah menjadi Raja Islam yang pertama di beri
gelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah. Disini terbukalah rahasia kenapa ia Raden Patah diberi gelar Alam Akbar karena ibunya
adalah cucu Ulama Besar Gujarat Syekh Mawlana Akbar yang hampir semua keturunannya menggunakan nama Akbar seperti Ibrahim
Akbar, Nurul Alam Akbar, Zainal Akbar dan banyak lagi lainnya.
Kembali ke kisah Syekh Khaliqul Idrus, setelah menikah dengan putri
Ulama Gujarat keturunan Syekh Mawlana Akbar lahirlah seorang putranya yang bernama Raden Muhammad Yunus yang setelah
menikah dengan seorang putri pembesar Majapahit di Jepara dipanggil dengan gelar Wong Agung Jepara. Dari pernikahan ini
lahirlah seorang putra yang kemudian terkenal sangat cerdas dan pemberani bernama Abdul Qadir yang setelah menjadi menantu
Sultan Demak I Raden Patah diberi gelar Adipati bin Yunus atau terkenal lagi sebagai Pati Unus yang kelak setelah gugur di
Malaka di kenal masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor.
Kiprah[sunting | sunting sumber] Setelah Raden Abdul Qadir beranjak
dewasa di awal 1500-an ia diambil mantu oleh Raden Patah yang telah menjadi Sultan Demak I. Dari Pernikahan dengan putri
Raden Patah, Abdul Qadir resmi diangkat menjadi Adipati wilayah Jepara (tempat kelahirannya sendiri). Karena ayahnya
(Raden Yunus) lebih dulu dikenal masyarakat, maka Raden Abdul Qadir lebih lebih sering dipanggil sebagai Adipati bin Yunus
(atau putra Yunus). Kemudian hari banyak orang memanggilnya dengan yang lebih mudah Pati Unus.
Dari pernikahan ini ia diketahui memiliki 2 putra. Ke 2 putranya yang
merupakan cucu-cucu Raden Patah ini kelak dibawa serta dalam expedisi besar yang fatal yang segera mengubah nasib Kerajaan
Demak.
Sehubungan dengan intensitas persaingan dakwah dan niaga di Asia
Tenggara meningkat sangat cepat dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, maka Demak mempererat hubungan
dengan kesultanan Banten-Cirebon yang juga masih keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat. Karena Sunan Gunung Jati atau
Syekh Syarif Hidayatullah adalah putra Abdullah putra Nurul Alam putra Syekh Mawlana Akbar, sedangkan Raden Patah seperti
yang disebut dimuka adalah ibunya cucu Syekh Mawlana Akbar yang lahir di Campa. Sedangkan Pati Unus neneknya dari pihak
ayah adalah juga keturunan Syekh Mawlana Akbar.
Hubungan yang semakin erat adalah ditandai dengan pernikahan ke 2 Pati
Unus, yaitu dengan Ratu Ayu putri Sunan Gunung Jati tahun 1511. Tak hanya itu, Pati Unus kemudian diangkat sebagai
Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon, diberkati oleh mertuanya sendiri yang merupakan
Pembina umat Islam di tanah Jawa, Syekh Syarif Hidayatullah bergelar Sunan Gunung Jati. Gelarnya yang baru adalah Senapati
Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis. Gentingnya situasi ini
dikisahkan lebih rinci oleh Sejarawan Sunda Saleh Danasasmita di dalam Pajajaran bab Sri Baduga Maharaja sub bab Pustaka
Negara Kretabhumi.
Tahun 1512 giliran Samudra Pasai yang jatuh ke tangan Portugis. Hal ini
membuat tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam tanah jawa semakin mendesak untuk segera dilaksanakan. Maka tahun
1513 dikirim armada kecil, ekspedisi Jihad I yang mencoba mendesak masuk benteng Portugis di Malaka tapi gagal dan balik
kembali ke tanah Jawa. Kegagalan ini karena kurang persiapan menjadi pelajaran berharga untuk membuat persiapan yang lebih
baik. Maka direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya
sudah terkenal dalam pembuatan kapal.
Pada tahun 1518 Raden Patah, Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al
Fattah mangkat, ia berwasiat supaya mantunya Pati Unus diangkat menjadi raja Demak berikutnya. Maka diangkatlah Pati Unus
atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, Adipati wilayah Jepara yang garis nasab (Patrilineal)-nya adalah keturunan Arab dan
Parsi menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy.
Ekspedisi Jihad II[sunting | sunting sumber] Memasuki tahun 1521, ke 375
kapal telah selesai dibangun, maka walaupun baru menjabat Sultan selama 3 tahun Pati Unus tidak sungkan meninggalkan
segala kemudahan dan kehormatan dari kehidupan keraton bahkan ikut pula 2 putranya (yang masih sangat remaja) dari
pernikahan dengan putri Raden Patah dan seorang putra lagi (yang juga masih sangat remaja) dari seorang seorang
isteri,anak kepada Syeikh Al Sultan Saiyid ISMAIL, PULAU BESAR, dengan risiko kehilangan segalanya termasuk putus nasab
keturunan, tapi sungguh Allah membalas kebaikan orang-orang yang berjuang di jalannya.
Armada perang Islam siap berangkat dari pelabuhan Demak dengan mendapat
pemberkatan dari Para Wali yang dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Armada perang yang sangat besar untuk ukuran dulu bahkan
sekarang. Dipimpin langsung oleh Pati Unus bergelar Senapati Sarjawala yang telah menjadi Sultan Demak II. Dari sini
sejarah keluarganya akan berubah, sejarah kesultanan Demak akan berubah dan sejarah tanah Jawa akan berubah.
Armada perang Islam yang sangat besar berangkat ke Malaka dan Portugis
pun sudah mempersiapkan pertahanan menyambut Armada besar ini dengan puluhan meriam besar pula yang mencuat dari benteng
Malaka.
Kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam ketika akan
menurunkan perahu untuk merapat ke pantai. Ia gugur sebagai Syahid karena kewajiban membela sesama Muslim yang tertindas
penjajah (Portugis) yang bernafsu memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Sebagian pasukan Islam yang berhasil mendarat kemudian bertempur dahsyat
hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis, karena itu sampai sekarang
Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun 1521 ini . Melalui situs keturunan Portugis di Malaka
(kaum Papia Kristang) hanya terdapat kegagahan Portugis dalam mengusir armada tanah jawa (expedisi I) 1513 dan armada
Johor dalam banyak pertempuran kecil.
Armada Islam gabungan tanah Jawa yang juga menderita banyak korban
kemudian memutuskan mundur dibawah pimpinan Raden Hidayat, orang kedua dalam komando setelah Pati Unus gugur. Satu riwayat
yang belum jelas siapa Raden Hidayat ini, kemungkinan ke-2 yang lebih kuat komando setelah Pati Unus gugur diambil alih
oleh Fadhlulah Khan (Tubagus Pasai) karena sekembalinya sisa dari Armada Gabungan ini ke Pulau Jawa , Fadhlullah Khan
alias Falathehan alias Fatahillah alias Tubagus Pasai-lah yang diangkat Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati sebagai
Panglima Armada Gabungan yang baru menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka.
Kegagalan expedisi jihad yang ke II ke Malaka ini sebagian disebabkan
oleh faktor - faktor internal, terutama masalah harmoni hubungan kesultanan - kesultanan Indonesia
Putra pertama dan ketiga Pati Unus ikut gugur, sedangkan putra kedua,
Raden Abdullah dengan takdir Allah untuk meneruskan keturunan Pati Unus, selamat dan bergabung dengan armada yang tersisa
untuk kembali ke tanah Jawa. Turut pula dalam armada yang balik ke Jawa, sebagian tentara Kesultanan Malaka yang
memutuskan hijrah ke tanah Jawa karena negerinya gagal direbut kembali dari tangan penjajah Portugis. Mereka orang Melayu
Malaka ini keturunannya kemudian membantu keturunan Raden Abdullah putra Pati Unus dalam meng-Islam-kan tanah Pasundan
hingga dinamai satu tempat singgah mereka dalam penaklukan itu di Jawa Barat dengan Tasikmalaya yang berarti Danau nya
orang Malaya (Melayu).
Sedangkan Pati Unus, Sultan Demak II yang gugur kemudian disebut
masyarakat dengan gelar Pangeran Sabrang Lor atau Pangeran (yang gugur) di seberang utara. Pimpinan Armada Gabungan
Kesultanan Banten, Demak dan Cirebon segera diambil alih oleh Fadhlullah Khan yang oleh Portugis disebut Falthehan, dan
belakangan disebut Fatahillah setelah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa 1527. Di ambil alih oleh Fadhlullah Khan adalah
atas inisiatif Sunan Gunung Jati yang sekaligus menjadi mertua karena putrinya yang menjadi janda Sabrang Lor dinikahkan
dengan Fadhlullah Khan.
Keturunan[sunting | sunting sumber] Dengan selamatnya putra Pati Unus
yang kedua yaitu Raden Abdullah, maka sungguh Allah hendak melestarikan keturunan para Syahid, seperti yang terjadi pada
pembantaian cucu nabi Muhammad, Imam Husain dan keluarganya ternyata keturunannya justru menjadi berkembang besar dengan
selamatnya putranya Imam Zaynal Abidin. Bukan kebetulan pula bila Pati Unus pun seperti yang disebut di atas adalah
keturunan Imam Husayn cucu Nabi Muhammad SAW, karena hanya Pahlawan besar yang melahirkan Pahlawan besar.
Ketika armada Islam mendaratkan pasukan Banten di teluk Banten, Raden
Abdullah diajak pula untuk turun di Banten untuk tidak melanjutkan perjalanan pulang ke Demak. Para komandan dan penasehat
armada yang masih saling berkerabat satu sama lain sangat khawatir kalau Raden Abdullah akan dibunuh dalam perebutan tahta
mengingat sepeninggal Pati Unus, sebagian orang di Demak merasa lebih berhak untuk mewarisi Kesultanan Demak karena Pati
Unus hanya menantu Raden Patah dan keturunan Pati Unus (secara patrilineal) adalah keturunan Arab seperti keluarga
Kesultanan Banten dan Cirebon, sementara Raden Patah adalah keturunan Arab hanya dari pihak Ibu sedangkan secara
patrilineal (garis laki-laki terus menerus dari pihak ayah, Brawijaya) adalah murni keturunan Jawa (Majapahit).
Kebanggaan Orang Jawa sebagai orang Jawa walaupun sudah menerima Islam
berbeda dengan sikap orang Pasundan setelah menerima Islam berkenan menerima Raja mereka dari keturunan Arab seperti
Sultan Cirebon Sunan Gunung jati dan putranya Sultan Banten Mawlana Hasanuddin. Kebanggaan orang Jawa sebagai bangsa yang
punya identitas sendiri, dengan gugurnya Pati Unus, membuka kembali konflik lama yang terpendam dibawah kewibawaan dan
keadilan yang bersinar dari Pati Unus. Kisah ini nyaris mirip dengan gugurnya Khalifah umat Islam ketiga di Madinah, Umar
bin Khattab yang segera membuka kembali konflik lama antara banyak kelompok yang sudah lama saling bertikai di Mekah dan
Madinah.
Sedangkan di tanah Jawa, sejak Islam merata masuk hingga pelosok dibawah
kepeloporan kesultanan Demak pada akhirnya timbul persaingan antara kaum Muslim Santri di pesisir dengan Muslim Abangan di
pedalaman yang berakibat fatal dengan perang saudara berkelanjutan antara Demak, Pajang dan Mataram.
Kiprah Putra Pati Unus di Banten[sunting | sunting sumber] Sebagian
riwayat turun temurun menyebutkan Pangeran Yunus (Raden Abdullah putra Pati Unus) ini kemudian dinikahkan oleh Mawlana
Hasanuddin dengan putri yang ke III, Fatimah. Tidak mengherankan, karena Kesultanan Demak telah lama mengikat kekerabatan
dengan Kesultanan Banten dan Cirebon. Selanjutnya pangeran Yunus yang juga banyak disebut sebagai Pangeran Arya Jepara
dalam sejarah Banten, banyak berperan dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (adik iparnya) sebagai
penasehat resmi Kesultanan . Dari titik ini keturunannya selalu mendapat pos Penasehat Kesultanan Banten , seperti seorang
putranya Raden Aryawangsa yang menjadi Penasehat bagi Sultan Banten ke III Mawlana Muhammad dan Sultan Banten ke IV
Mawlana Abdul Qadir.
Ketika penaklukan Kota Pakuan terakhir 1579, Raden Aryawangsa yang masih
menjadi Panglima dalam pemerintahan Sultan Banten ke II Mawlana Yusuf (yang juga pamannya sendiri karena ibunya adalah
kakak dari Mawlana Yusuf yang dinikahi Raden Abdullah putra Pati Unus) mempunyai jasa besar, sehingga diberikan wilayah
kekuasaan Pakuan dan bermukim hingga wafat di desa Lengkong (sekarang dekat Serpong). Raden Aryawangsa menikahi seorang
putri Istana Pakuan dan keturunannya menjadi Adipati Pakuan dengan gelar Sultan Muhammad Wangsa yang secara budaya menjadi
panutan wilayah Pakuan yang telah masuk Islam (Bogor dan sekitarnya), tapi tetap tunduk dibawah hukum Kesultanan Banten.
Seperti yang disebut di atas, Raden Aryawangsa kemudian lebih banyak
berperan di Kesultanan Banten sebagai Penasehat Sultan, setelah ia wafat kiprah keluarga Pati Unus kemudian diteruskan
oleh putra dan cucunya para Sultan Pakuan Islam hingga Belanda menghancurkan keraton Surosoan pada zaman Sultan Ageng
Tirtayasa (1683), dan membuat keraton Pakuan Islam, sebagai cabang dari Keraton Banten, ikut lenyap dari percaturan
politik dengan Sultan yang terakhir Sultan Muhammad Wangsa II bin Sultan Muhammad Wangsa I bin Raden Aryawangsa bin Raden
Abdullah bin Pangeran Sabrang Lor bin Raden Muhammad Yunus Jepara ikut menyingkir ke pedalaman Bogor sekitar Ciampea.
Kiprah Putera Pati Unus di wilayah Galuh (Priangan Timur)[sunting |
sunting sumber] Selain Raden Aryawangsa, Raden Abdullah putra Pati Unus juga memiliki anak lelaki lainnya yaitu yang
dikenal sebagai Raden Suryadiwangsa yang belakangan lebih dikenal dengan gelar Raden Suryadiningrat yang diberikan
Panembahan Senopati ketika Kerajaan Mataram Islam resmi menguasai Priangan Timur pada tahun 1595.
Kehadiran putra Pati Unus di wilayah Priangan Timur ini tidak terlepas
dari kerjasama dakwah antara Kesultanan Banten dan Cirebon dalam usaha meng islam kan sisa-sisa kerajaan Galuh di wilayah
Ciamis hingga Sukapura (sekarang Tasikmalaya).
Raden Surya dikirim ayahnya, Raden Abdullah putra Pati Unus yang telah
menjadi Penasehat Kesultanan Banten untuk membantu laskar Islam Cirebon dalam usaha peng Islaman Priangan Timur. Raden
Surya memimpin dakwah (karena hampir tanpa pertempuran) hingga mencapai daerah Sukapura dibantu keturunan tentara Malaka
yang hijrah ketika Pati Unus gagal merebut kembali Malaka dari penjajah Portugis. Beristirahatlah mereka di suatu tempat
dan dinamakan Tasikmalaya yang berarti danaunya orang Malaya (Melayu) karena di dalam pasukannya banyak terdapat keturunan
Melayu Malaka.
Raden Surya pada tahun 1580 ini di angkat oleh Sultan Cirebon II
Pangeran Arya Kemuning atau dipanggil juga Pangeran Kuningan (putra angkat Sunan Gunung Jati, karena putra kandung
Pangeran Muhammad Arifin telah wafat) sebagai Adipati Galuh Islam. Akan tetapi seiring dengan makin melemahnya kesultanan
Cirebon sejak wafatnya Sunan Gunung Jati pada tahun 1579, maka wilayah Galuh Islam berganti-ganti kiblat Kesultanan. Pada
saat 1585-1595 wilayah Sumedang maju pesat dengan Prabu Geusan Ulun memaklumkan diri jadi Raja memisahkan diri dari
Kesultanan Cirebon. Sehingga seluruh wilyah Priangan taklukan Cirebon termasuk Galuh Islam bergabung ke dalam Kesultanan
Sumedang Larang. Inilah zaman keemasan Sumedang yang masih sering di dengungkan oleh keturunan Prabu Geusan Ulun dari
dinasti Kusumahdinata.
Sekitar tahun 1595 Panembahan Senopati dari Mataram mengirim expedisi
hingga Priangan, Sumedang yang telah lemah sepeninggal Prabu Geusan Ulun kehilangan banyak wilayah termasuk Galuh Islam.
Maka Kadipaten Galuh Islam yang meliputi wilayah Ciamis hingga Sukapura jatuh ke tangan Panembahan Senopati. Raden
Suryadiwangsa cucu Pati Unus segera diangkat Panembahan Senopati sebagai penasehatnya untuk perluasan wilayah Priangan dan
diberi gelar baru Raden Suryadiningrat.
Di sekitar tahun 1620 salah seorang putra Raden Suryadiningrat menjadi
kepala daerah Sukapura beribukota di Sukakerta bernama Raden Wirawangsa setelah menikah dengan putri bangsawan setempat.
Raden Wirawangsa kelak pada tahun 1635 resmi menjadi Bupati Sukapura diangkat oleh Sultan Agung Mataram karena berjasa
memadamkan pemberontakan Dipati Ukur. Raden Wirawangsa diberi gelar Tumenggung Wiradadaha I yang menjadi cikal bakal
dinasti Wiradadaha di Sukapura (Tasikmalaya). Gelar Wiradadaha mencapai yang ke VIII dan dimasa ini dipindahkanlah ibukota
Sukapura ke Manonjaya. Bupati Sukapura terakhir berkedudukan di Manonjaya adalah kakek dari kakek kami bergelar Raden
Tumenggung Wirahadiningrat memerintah 1875-1901. Setelah ia pensiun maka ibukota Sukapura resmi pindah ke kota
Tasikmalaya.
MENGENAL RAJA DEMAK TRENGGANA (1521-1546)
Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan
terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan
Majapahit, kemudian muncul sebagai kekuatan baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.
Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau
Jawa dan Indonesia pada umumnya, Walaupun tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan
kekuasaan di antara kerabat kerajaan. Pada tahun 1560, kekuasaan Demak beralih ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka
Tingkir/Hadiwijaya. Salah satu peninggalan bersejarah Demak ialah Mesjid Agung Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh
Wali Songo.
Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di
kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), saat ini telah menjadi bagian kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan
kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 (Sunan Prawoto),
keraton dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan untuk periode ini kerajaan disebut Demak Prawata. Sepeninggal Sunan
Prawoto, Arya Penangsang memerintah kesultanan yang sudah lemah ini dari Jipang-Panolan (sekarang dekat Cepu). Kotaraja
Demak dipindahkan ke Jipang dan untuk priode ini dikenal dengan sebutan Demak Jipang.
Hadiwijaya dari Pajang mewarisi wilayah Demak yang tersisa setelah ia,
bersama-sama dengan Ki Gede Pamanahan dan Ki Penjawi, menaklukkan Arya Penangsang. Demak kemudian menjadi vasal dari
Pajang.
Masa awal
Menjelang akhir abad ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit. Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai
kawasan yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara
Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan besar
seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan besar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma
Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504.
Putera atau adik Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, kemudian dari tahun 1521 sampai 1546.
Di antara kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana
sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.
Pelabuhan Demak Bintoro
Kerajaan Demak Bintoro memiliki dua pelabuhan, yaitu:- Pelabuhan niaga = di sekitar Bonang (Demak)
- Pelabuhan militer = di sekitar Teluk Wetan (Jepara)
Pada awal abad ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di
Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya
dengan menundukan beberapa kawasan pelabuhan dan pedalaman di nusantara.
Kerajaan Demak Di bawah Pati Unus
Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi besarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang besar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Kemudian beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya untuk menyerang Portugis di Malaka.Demak Di bawah Kerajaan Trenggana
Trenggana berjasa atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau
tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), juga menaklukkan hampir seluruh Pasundan/Jawa Barat (1528 - 1540)
serta wilayah-wilayah bekas Majapahit di Jawa Timur seperti Tuban (1527), Madura (1528), Madiun (1529), Surabaya dan
Pasuruan (1527 - 1529), Kediri (1529), Malang (1529 - 1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau
Jawa (1529 - 1546).
Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam sebuah pertempuran menaklukkan
Pasuruan, dan kemudian digantikan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah,
pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung
Jati[4] diperintah oleh Trenggana untuk menundukkan Banten Girang. Kemudian hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan
Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan
Majapahit sebelum pindah ke Kudus.
Kemunduran Kerajaan Demak 3
Suksesi Raja Demak 3 tidak berlangsung mulus, terjadi Persaingan panas
antara P. Surowiyoto (Pangeran Sekar) dan Trenggana yang berlanjut dengan di bunuhnya P. Surowiyoto oleh Sunan Prawoto
(anak Trenggono), peristiwa ini terjadi di tepi sungai saat Surowiyoto pulang dari Masjid sehabis sholat Jum'at. Sejak
peristiwa itu Surowiyoto (Sekar) dikenal dengan sebutan Sekar Sedo Lepen yang artinya Sekar gugur di Sungai. Pada tahun
1546 Trenggono wafat dan tampuk kekuasaan dipegang oleh Sunan Prawoto, anak Trenggono, sebagai Raja Demak ke 4, akan
tetapi pada tahun 1549 Sunan Prawoto dan isterinya dibunuh oleh pengikut P. Arya Penangsang, putera Pangeran Surowiyoto
(Sekar). P. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa tahta Demak sebagai Raja Demak ke 5. Pengikut Arya Penangsang juga
membunuh Pangeran Hadiri, Adipati Jepara, hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi P. Arya Penangsang,
salah satunya adalah Adipati Pajang Joko Tingkir (Hadiwijoyo).
Pada tahun 1554 terjadilah Pemberontakan dilakukan oleh Adipati Pajang
Joko Tingkir (Hadiwijoyo) untuk merebut kekuasaan dari Arya Penangsang. Dalam Peristiwa ini Arya Penangsang dibunuh oleh
Sutawijaya, anak angkat Joko Tingkir. Dengan terbunuhnya Arya Penangsang sebagai Raja Demak ke 5, maka berakhirlah era
Kerajaan Demak. Joko Tingkir (Hadiwijoyo) memindahkan Pusat Pemerintahan ke Pajang dan mendirikan Kerajaan Pajang.
MENGENAL RAJA DEMAK SUNAN PRAWOTO (1546-1549)
Biografi Sunan Prawoto Sunan Prawoto memiliki nama lahir Raden Mukmin, atau dalam ejaan China
disebut Muk Ming. Sunan Prawoto memerintah Kerajaan Demak mulai tahun 1546 - 1549. Sunan Prawoto adalah pribadi yang
cenderung lebih sebagai seorang ahli agama dari pada sebagai seorang raja. Pada masa kekuasaannya, daerah kekuasaan Demak
seperti Banten, Cirebon dan Gresik berkembang begitu pesatnya dan seakan diberikan kebebasan tanpa ada pengaturan
manajerial sama sekali. Dari naskah babad dam serat disebutkan bahwa Raden Mukmin merupakan anak sulung dari Sultan
Trenggono. Raden Mukmin ini lahir ketika Sultan Trenggono masih sangat muda dan belum menjadi raja Demak.
Bahkan dikisahkan dalam versi lain, Raden Prawoto inilah yang membantu
ayahnya yaitu Sultan Trenggono dalam meraih kekuasaan sebagai Raja Demak. Sunan Prawoto yang mengirim orang suruhan untuk
membunuh Raden Kikin yang merupakan saudara Ayahnya Sultan Trenggono. Raden Kikin tewas dibunuh Ki Surayata saat sepulang
dari sholat Jumat. Radeb Kikin kemudian mendapatkan julukan sebagai Pangeran Sekar Sedo Lepen atau dalam bahasa Indonesia
berarti pangeran atau bunga yang gugur di sungai. Alhasil Sultan Trenggono kemudian berhasil naik tahta.
Sepeninggal Sultan Trenggono yang wafat, Sunan Prawoto kemudian diangkat
menjadi raja Demak menggantikan ayahandanya. Raden Mukmin juga memiliki ambisi untuk melanjutkan cita-cita ayahnya untuk
menguasai Pulau Jawa. Namun sayang Raden Mukmin tidak memiliki kemampuan di bidang politik yang mumpuni. Raden Mukmin
lebih suka hidup sebagai seorang ulama dan lebih sering mendekatkan diri pada Allah dalam kehidupannya. Pada masa
kekuasaannya, Raden Mukmin memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Demak yang semula di Bintoro lalu dipindah ke Prawoto.
Lokasinya saat ini kira-kira adalah desa Prawoto, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Oleh karena itu, Raden
Mukmin pun terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto.
Cita-cita Sunan Prawroto dalam menguasai Jawa ini pada akhirnya tidak
pernah menjadi kenyataan. Sunan Prawoto lebih sering menjadi seorang ahli agama dari pada mengatur strategi untuk
melaksanakan cita-citanya. Kehidupan di beberapa wilayah kekuasaan Demak pun satu per satu semakin berkembang menjadi
lebih besar dan Demak tak mampu mengontrol daerah kekuasaannya tersebut. Daerah seperti seperti Banten, Cirebon, Surabaya,
dan Gresik berkembang begitu bebas tanpa kontrol dari Demak, dan sebenarnya ini sangat berbahaya untuk keberlangsungan
sebuah Kerajaan.
Meninggalnya Sunan Prawoto
Sepeninggal Sultan Trenggono, di Demak sendiri sebenarnya ada dua tokoh
yang kuat yaitu Aryo Penangsang di Jipang dan Hadiwijaya bupati Pajang. Aryo Penangsang adalah anak dari Pangeran Sekar
Sedo Lepen atau Raden Kikin. Nah, Aryo Penangsang ini kemudian yang merencanakan membunuh Sunan Prawoto karena merasa
dendam atas ayahnya yang mati dibunuh utusan Sunan Prawoto. Menurut Babad Tanah Jawi, Aryo Penangsang mengirim anak
buahnya yang bernama Rangkud untuk membunuh Sunan Prawoto. Rangkud pun berhasil masuk di kamar Sunan Prawoto pada suatu
malam. Sebelum Rrangkud membunuh Sunan Prawoto, Sunan Prawoto mengakui atas kesalahan yang ia lakukan kepada Raden Kikin
dan rela dihukum mati.
Sunan Prawoto rela dihukum mati asal keluarganya diampuni. Rangkud pun
menyetujuinya dan kemudian menikam dada Sunan Prawoto sampai tembus ke belakang. Dan celaka, ternyata istri Sunan Prawoto
berlindung di belakang Sunan Prawoto yang pada akhirnya juga turut meninggal karena ikut tertusuk tikaman dari Rangkud
tersebut. Sunan Prawoto pun marah atas kematian istrinya, dengan sisa tenaganya Sunan Prawoto berhasil membunuh Rangkud.
Kehidupan Politik Kerajaan Demak Masa Sunan Prawoto - Kerajaan Demak
sepeninggal Sultan Trenggono yang berhasil membawa pada masa kejayaannya, maka tahta dipegang oleh anaknya yaitu Sunan
Prawoto. Sunan Prawoto (nama lahirnya Raden Mukmin atau ejaan China Muk Ming) adalah raja Demak keempat, yang memerintah
tahun 1546-1549. Sunan Prawoto dikenal lebih kepada seorang ahli agama yang mengutamakan pensucian diri dari pada
memerintah sebuah kerajaan. Sehingga, Sunan Prawoto ini tidak begitu memiliki kemampuan politik dalam mengatur kerajaan
Demak. Dalam masa kepemimpinannya yang tidak terlalu lama, kehidupan politik Kerajaan Demak pada waktu itu sangat kacau
dan banyak fitnah yang berseliweran. Pada masa kekuasaan Sunan Prawoto, daerah bawahan Demak seperti Banten, Cirebon,
Surabaya, dan Gresik, berkembang bebas tanpa mampu dihalanginya.
Kehidupan Politik Kerajaan Demak Masa Sunan Prawoto
Kehidupan politik Kerajaan Demak masa Sunan Prawoto sangat tidak
kondusif dan pergolakan politik sangat memprihatinkan. Kerajaan Demak sangat kacau dengan banyaknya perebutan tahta
kekuasaan dari dalam keluarga. Sejarah juga mencatatkan bahwa Sunan Prawoto juga terkena fitnahan bahwa ia membunuh
Pangeran Seda Lepen yang merupakan Ayah dari Aryo Penangsang. Arya Penangsang sendiri juga terfitnah membunuh Pangeran
Hadirin suami dari Ratu Kalinyamat. Terlepas begitu banyaknya fitnah yang beredar, kehidupan politik Kerajaan Demak pada
waktu itu sangat kacau dan beda dengan kehidupan politik kerajaan Demak masa Sultan Trenggono.
Profil singkat Sunan Prawoto sendiri, banyak yang menyebutkan bahwa
beliau adalah seorang yang senang mengolah rohani dari pada hal lainnya. Beliau sama sekali tidak cinta dunia, apalagi
dengan singgasana tahta Kerajaan Demak, sama sekali Sunan Prawoto tidak mencintainya. Dengan kondisi seperti itu, maka tak
heran banyak sekali yang mengincar tahta Demak pada saat itu. Bahkan pada suatu ketika Sunan Prawoto pernah mengumpulkan
para pejabat teras Kerajaan Demak di Masjid Agung Demak, dan pada saat itu Sunan Prawoto menyampaikan pengunduran dirinya
menjadi Raja Demak. Pada saat itu beliau menyampaikan kepada hadirin bahwa ia ingin kembali ke gunung Prawoto untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Namun para hadirin menolaknya dan tetap berkeinginan dipimpin oleh Sunan Prawoto sebagai
raja Demak.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Sunan Prawoto pun kemudian juga
memperdalam keilmuan nya tentang politik untuk melanjutkan pemerintahan Demak. Beliau banyak belajar bagaimana negara-
negara Eropa dapat menjadi negara yang maju. Dan kemudian pada tahun 1547 mengadakan hubungan persahabatan dengan Sultan
Sulaiman 1 yang pada saat itu Sultan Sulaiman 1 sudah mengkonsolidasikan posisinya di daerah Hungaria dengan mengadakan
perjanjian dengan Kaisar Karel V. Dari Sultan Sulaeman 1 lah Sunan Prawoto banyk mendapatkan informasi terkait kemajuan
bangsa Eropa dan dakwah Islamnya.
Kehidupan politik kerajaan Demak pada masa Sultan Prawoto ini seperti
mendekati kepada keruntuhan Kerajaan Demak. Pada masa ini mulai banyak daerah-daerah kekuasaan KErajaan Demak beralih ke
tangan orang lain dan ada juga yang mulai sengaja melepaskan diri dari Demak dan menjadi kerajaan kecil. Dalam hal ini
seperti yang terjadi pada daerah Cirebon, Banten, Surabaya dan juga Giri Gresik yang mulai menjadi daerah sendiri. Keadaan
ini terjadai pada sekitar pertengahan abad ke-16. Keadaan seperti ini kelihatannya membuat Sunan Prawoto bimbang dan
sedikit sulit dalam mengambil kebijakan antara menggunakan kekuasaan untuk mempertahankan Demak atau membiarkan kemunculan
kerajaan kecil tersebut dengan pertimbangan persebaran agama Islam akan semakin luas dengan adanya kerajaan Islam baru.
Pertimbangan lain adalah, jika Sunan Prawoto memaksakan untuk menyerang
kerajaan kecil yang masih baru tersebut, maka yang akan menjadi korban tentu adalah warga muslim sendiri. Sunan Prawoto
kelihatannya lebih memilih untuk menghindari terjadinya banyak korban warga muslim sehingga beliau membiarkan munculnya
kerajaan islam baru tersebut. Tekad Sunan Prawoto sendiri dalam pandangnnya adalah apa gunanya kekuasaan luas jika harus
sesama muslim saling membunuh. Dan ternyata, kebijkan yang diambil Sunan Prawoto ini membuat beberapa pihak tidak terima.
Ada beberapa orang yang kemudian ingin mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Demak seperti di bawah naungan Sultan
Trenggono. Dan jalan yang diambil adalah dengan cara makar dan menggulingkan Sunan Prawoto.
Mengenal Peninggalan Sejarah Demak
Setelah kita mengetahui perjuangan para pejuang-pejuang terdahulu..tentunya ada peninggalan ataupun sejarah yang ditinggalkan, berikut peninggalan dari kerajaan Demak.- Pintu Bledek
- Masjid Agung Demak
- Soko Guru atau Soko Tatal
- Bedug dan Kentongan
- Situs Kolam Wudhu
- Makam Sunan Kalijaga
- Maksurah
- Dampar Kencana
- Piring Campa
- Serambi Majapahit
- Mihrab
- Dampar Kencono
- Pawestren
- Surya Majapahit
Peninggalan Kerajaan Demak Pintu Bledek atau Pintu Petir merupakan pintu yang dilengkapi dengan pahatan yang dibuat tahun 1466 oleh Ki Ageng Selo. Dari cerita yang beredar, Pintu Bledek ini dibuat oleh Ki Ageng Selo dengan petir yang tersambar memakai kekuatan supranatural yang dimilikinya yang ia tangkap saat ada di tengah sawah.
Pintu tersebut lalu dibawa pulang dan dibawa ke Raden Patah kemudian pintu ini dipakai untuk pintu masuk utama Masjid Agung Demak yang keadaannya sudah mulai rusak sehingga di simpan dalam Museum dalam Masjid Agung Demak tersebut.
Kisah Legenda Pintu Bledeg/ Petir Masjid Agung Demak - Pintu petir atau bisa juga di sebut bledeg merupakan salah satu pintu utama dari Masjid Demak pada zaman Kerajaan Demak dahulu kala. Dilihat dari namanya Pintu Bledeg ini berarti petir sehingga seringkali diartikan sebagai pintu petir.
Ada sejarah dan cerita unik dibalik peninggalan Kerajaan Demak ini. Bahkan banyak cerita masyarakat yang beredar terkait Pintu Bledeg yang melegenda dan selalu menjadi bumbu dalam sejarah Kerajaan Demak ini.
Pintu ini merupakan salah satu Prasasti Condro Sengkolo yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani. Dimana di pintu tersebut terdapat gambar kepala naga.
Dalam prasasti itu sudah tertera tahun 1388 Saka atau 1466 Masehi. Tahun tersebut diprediksi sebagai peletakan batu pertama kalinya dari pembangunan Masjid Agung Demak. Pintu bledeg ini memang dulunya digunakan sebagai pintu utama di masjid tersebut.
Legenda Pintu Bledeg/ Petir Masjid Agung Demak
Menurut cerita yang beredar dari masyarakat sekitar, disebutkan bahwa kisah pintu petir tersebut dimulai saat Ki Ageng Selo, beliu adalah salah satu keturunan Raja Majapahit Brawijaya V itu pergi bekerja di tengah ladang sawah yang terbentang luas. Lalu tiba-tiba hari yang begitu cerah menjadi mendung gelap gulita dan kemudian hujan pun turun begitu deras.
Kemudian karena hujan begitu derasnya, maka Ki Ageng Selo pun menghentikan pekerjaannya sampai ujan reda sambil bergumam "sawah iki kemendungan". Ki Ageng Selo bergumam demikian dikarena kan beberapa meter bagian sawah dari sawah yang sedang kehujanan tersebut tidak ada mendung sama sekali apalagi hujan, lalu Ki Ageng Selo meneruskan pekerjaannya di sawah yang tidak kehujanan tersebut.
Namun kemudian setelah pindah ke sawah yang lainnya, ternyata mendung dan kilat itu pun juga ikut berpindah dan menghujani sawah tempat Ki Ageng Selo tersebut bekerja.
Seakan mendung, petir dan hujan selalu mengikuti kemana Ki Ageng Selo bekerja. Dan kemudian terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara Ki Ageng Selo dan petir yang terus mengancam nyawa beliu dan seakan menyambar ke kepala Ki Ageng Selo.
Ki Ageng Selo pun melawan petir tersebut sambil tetap berdiri di tengah sawah sambil mengacungkan dan menunjukkan tangan beliu ke arah bledeg atau petir yang mengamuk tersebut.
Petir yang mangamuk itu pun kemudian menyambar Ki Ageng Selo dengan suara yang sangat memekakkan telinga, Ki Ageng Selo seakan-akan tersambar. Ada beberapa murid Ki Ageng Selo yang menyaksikan kejadian tersebut dan menyangka kalau Ki Ageng Selo tidak akan selamat atau akan hancur berkeping-keping karena sambaran petir yang sangat dasyat tersebut.
Namun mendadak para murid tersebut terbelalak matanya demi menyaksikan sesuatu yang begitu mengejutkan. Tubuh Ki Ageng Selo sama sekali tidak terluka sedikitpun dan bahkan tampak Ki Ageng Selo mengikat sesuatu yang sangat besar dengan damen atau gagang padi kering yang diikatkan beliu pada pohon Gandri.
Peristiwa yang luar biasa itu kemudian sangat cepat tersiar kepada masyarakat dan pada akhirnya sampai juga kepada pihak Istana Demak. Ahirnya utusan dari pihak kerajaan Demak meminta tangkap Ki Ageng Selo tersebut lalu di bawa ke Demak. Kemudian bledeg tersebut dibawa ke kerajaan Demak dan Ki Ageng Selo juga mempersilahkan para prajurit tersebut.
Sesampainya di kerajaan, bledeg tersebut kemudian langsung saja dibawa ke Masjid Demak dan banyak masyarakat yang ikut menyaksikan bledeg tersebut.
Setelah beberapa waktu, kemudian diperintahkan seorang juru lukis untuk menggambar bledeg tersebut. Namun ternyata, melukis bledeg bukanlah pekerjaan yang semudah yang dibayangkan.
Konon katanya, bledeg yang dilukis tersebut selalu menampakkan bentuk wujud yang berbeda-beda setiap waktu. Namun akhirnya sang pelukis mampu melukis bledeg tersebut dan masih diselesaikan pada bagian kepalanya saja.
Sayang setelah bagian kepala selesai di lukis, datang seorang perempuan tua yang membawa sebuah tempurung kelapa yang berisi air kemudian disiramkan ke arah bledeg tersebut.
Kemudian meledaklah bledeg tersebut disiram perempuan tua itu, dan perempuan itu pun tiba-tiba berubah wujud menjadi seorang berjubah putih dan hilang begitu saja.
Menurut kisah yang beredar di masyarakat, laki-laki berjubah putih itu adalah Ki Ageng Selo sendiri. Karena beliu ternyata tidak tega melihat bledeg tangkapannya tersebut dijadikan sebagai tontonan masyarakat.
Meski pada awalnya bledeg itu mengancam nyawa beliu, namun Ki Ageng Selo sangaja melepaskannya karena merasa kasihan. Nah, lukisan yang masih selesai pada bagian kepala itulah yang kemudian dijadikan sebagai hiasan pintu utama di Masjid Demak saat itu.
Namun kisah sejarah pintu bledeg yang lainnya adalah bahwa pintu petir tersebut hanyalah sebuah kiasan saja. Kiasan yang melambangkan nafsu dan juga angkara murka yang ada pada setiap diri manusia.
Sehingga, sebelum manusia melaksanakan shalat dan mendekatkan diri pada allah SWT, harus bisa menghilangkan sifat jahat dan angkara yang dilambangkan pada bledeg tersebut.
Peninggalan Kerajaan DemakPeninggalan Kerajaan Demak selanjutnya adalah Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak ini didirikan tahun 1479 Masehi yang kini sudah berumur sekitar 6 abad tetapi masih berdiri dengan kokoh sebab sudah dilakukan renovasi sebanyak beberapa kali. Masjid Agung Demak ini tidak hanya sebagai peninggalan sejarah Kerajaan Demak saja, akan tetapi dulunya merupakan pusat dari pengajaran serta syiar Islam.
Masjid ini dikatakan sebagai asal mula pemikiran dari kehadiran Kerajaan Demak Bintoro. Secara geografis, Masjid Agung Demak terletak di Desa Kauman, Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak Kota, Jawa Tengah. Arsitektur masjid ini terlihat berbeda dari arsitektur masjid yang ada di jaman sekarang, Masjid Agung Demak mengguanakn kombinasi gaya budata Jawa Tengah yang sangat kental dan ornamen yang terdapat di Masjid Agung Demak ini juga melukiskan tentang hubungan antara Jawa dengan Islam.
Masjid Agung Demak ini memiliki ukuran luas sebesar 31 x 31 meter persegi yang di bagian sisi Masjid Agung Demak ini juga terdapat serambi berukuran 31 x 15 meter persegi dengan panjang keliling 35 x 3 meter. Serambi masjid ini terbuka dan bangunan masjid di topang dengan total 128 soko. 4 diantara soko ini adalah soko guru sebagai penyangga utama, sementara tiang penyangga bangunan total ada 50 buah dan tiang penyangga serambi berjumlah 28 serta tiang keliling sebanyak 16 buah. Bentuk Masjid Demak memakai material kayu dengan bentuk bulat lengkap dengan beberapa lengkungan. Bagian interior masjid juga memakai material kayu lengkap dengan ukiran yang juga terlihat sangat artistik dan cantik.
Peninggalan Kerajaan DemakSoko Guru atau Soko Tatal merupakan tiang penyangga dari Masjid Agung Demak yang terbuat dari material kayu dengan diameter 1 meter dan berjumlah sebanyak 4 buah. Semua Soko Guru ini dibuat oleh Sunan Kalijogo dan menurut cerita Sunan Kalijogo baru menyelesaikan 3 buah soko guru dan Masjid Agung Demak sudah dibangun serta sudah mulai masuk dalam tahapan pemasangan atap.
Sehingga karena dikejar waktu, Sunan kalijogo kemudian mengumpulkan tatal atau kulit kayu yang berasal dari sisa pahatan dari 3 soko guru untuk dibuat menjadi 1 soko guru baru memakai kekuatan spiritual yang dimiliki Sunan Kalijogo dan inilah yang menyebabkan soko guru diberi istilah soko tatal.
Bedug dan juga kentongan, dulunya dipakai sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat sekitar Masjid untuk menandai masuknya waktu sholat. Kedua benda ini ditemukan dalam Masjid Agung Demak dengan bentuk seperti tapal kuda dengan folosofi saat dibunyikan atau dipukul maka rakyat sekitar masjid harus datang untuk menunaikan sholat. Bedug dan kentongan ini menjadi peninggalan sejarah Kerajaan Demak yang juga masih bisa dilihat hingga sekarang.
Kolam wudhu ada di halaman Masjid Agung Demak dan dulu di pakai untuk tempat wudhu para musyafir dan juga santri yang akan melaksanakan sholat, akan tetapi sekarang kolam wudhu ini tidak lagi dipergunakan sebagai tempat berwudhu pada saat ingin melaksanakan sholat.
Makam Sunan KalijagaSunan Kalijaga yang merupakan salah satu dari 9 Sunan WaliSanga yang berdakwah di sekitar wilayah Jawa. Sunan Kalijaga wafat tahun 1520 lalu dikebumikan di Desa Kadilangu berdekatan dengan Kota Demak.
Makam Sunan Kalijogo ini sekarang menjadi sebuah situs yang sering didatangi peziarah dan juga wisatawan dari berbagai wilayah di tanah air dan juga menjadi salah satu peninggalan dari Kerajaan Demak.
Banyak orang yang berkunjung untuk tujuan berziarah dan juga berdoa, semoga diberikan kemudahan dan juga keberkahan lewat berdoa ini. Situs ini sangat dijaga baik oleh pengelolanya, agar pengunjung atau peziarah nyaman saat berdoa dan bersholawat.
Maksurah merupakan ukiran kaligrafi ayat Al quran yang digunakan sebagai interior dinding Masjid Agung Demak. Maksurah ini dibangun saat kekuasaan Aryo Purbaningrat yang merupakan adipati Demak tahun 1866 dan kaligrafi ini menceritakan mengenai ke-Esaan Allah.
Peninggalan Kerajaan Demak selanjutnya adalah Dampar Kencana. Dampar Kencana merupakan singgasana untuk para Sultan Demak yang kemudian digunakan sebagai mimbar khotbah pada Masjid Agung Demak. Mimbar ini akan tetapi tidak lagi digunakan dan disimpan pada museum Masjid Agung Demak agar terhindar dari kerusakan.
Piring Campa merupakan piring porselen sebanyak 65 buah yang saat ini dipasang pada interior dinding Masjid Agung Demak. Seperti namanya, piring ini merupakan hadiah dari putri Campa yakni ibu dari Raden Patah, pendiri Kerajaan Demak.
Serambi yang ada di Masjid Agung Demak ini terlihat sangat indah dengan arsitektur unik dan antik yang memiliki arti sejarah didalamnya. Dari sejarah Kerajaan Demak, serambi Majapahit ini memiliki 8 buah tiang pendopo yang berasal dari Kerajaan Majapahit, akan tetapi saat Kerajaan Majapahit runtuh, beberapa peninggalannya tidak lagi terawat sehingga Adipati Unus membawa benda pusaka tersebut menuju Demak yang sekarang ditempatkan di serambi Masjid Agung Demak dan masih bisa dilihat sampai sekarang.
Mihrab yang merupakan pengimaman juga merupakan peninggalan dari Kerajaan Demak yang didalamnya terdapat gambar hewan bulus prasasti Condro Sengkolo. Prasasti Condro Sengkolo ini mempunyai arti Sariro Sunyi Kiblating Gusti tahun 1401 Saka atau 1479 Masehi. Ini membuat kesimpulan jika di masa Kerajaan Demak juga sudah mengenal Mihrab atau pengimaman yang berlukiskan hiasan tertentu yang adalah akulturasi budaya Islam dan juga Jawa.
Jika dilihat dari sejarah, Dampar Kencono merupakan Peninggalan Kerajaan Majapahit, sebab Dampar adalah hadiah yang diberikan Prabu Bhrawijaya ke V yakni Raden Kertabumi untuk Raden Patah yang merupakan raja pertama Kerajaan Demak sehingga ahli sejarah mengatakan jika di masa akhir Kerajaan Majapahit, banyak rakyat yang sudah memeluk agama Islam.
Dari sejarah Kerajaan Demak dikatakan jika faham Islam sudah maju pada saat tersebut dan jamaah sholat laki-laki serta perempuan sudah dipisahkan. Tempat sholat berjamaah perempuan ini dinamakan pawestren.
Pawestern ini merupakan bangunan dengan 8 tiang penyangga yang 4 tiang uatam di topang belandar balok bersusun tiga lengkap dengan ukiran motif Majapahit. Motif maksurah tahun 1866 Masehi ini diperkirakan dibuat pada masa Arya Purbaningrat.
Peninggalan Kerajaan Demak selanjutnya adalah Surya Majapahit. Surya Majapahit merupakan gambar dekorasi bentuk segi delapan yang sangat terkenal di era Majapahit. Beberapa sejarawan memperkirakan jika benda tersebut merupakan lambang Kerajaan Majapahit, sementara Surya Majapahit yang terdapat di Masjid Agung Demak tersebut dibuat tahun 1401 tahun saka atau 1479 Masehi.
- Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
Comments
Post a Comment