Menurut Cerita Rakyat Asal Muasal Nama Kisaran
Sumber: https://www.asahansatu.com/inilah-asal-usul-nama-kisaran/
Menurut Sejarah
Nama Asahan atau “Ashacan” sudah ada di dalam catatan Portugis tahun 1613 oleh De Eredia. kesultanan Asahan sudah berdiri sejak awal abad ke 17.
Sumber dari berbagai sumber
Pahlawan Perjuangan
Sultan Iskandar Muda
Sultan Iskandar Muda atau Perkasa Alam lahir pada tahun 1593, berasal dari keturunan perkawinan Raja Makuta Alam dengan Putri Raja Indra Bangsa.
Perjalanan Sultan Iskandar Muda ke Johor dan Melaka pada 1612 sempat berhenti di sebuah Tajung (pertemuan sungai Asahan dan Silau) untuk bertemu dengan Raja Simargolang. Sultan Iskandar Muda akhirnya menikahi salah seorang puteri Raja Simargolang yang kemudian dikaruniai dua orang anak, yaitu Meurah Pupok dan Putri Safiah.
Dinobatkan pada tanggal 29 Juni 1606, Sultan Iskandar Muda memberikan tatanan baru dalam kerajaannya. Beliau mengangkat pimpinan adat untuk tiap suku dan menyusun tata negara sekaligus qanun yang menjadi tuntunan penyelenggaraan kerajaan dan hubungan antara raja dan rakyat.
Sultan Iskandar Muda mulai menduduki tahta Kerajaan Aceh pada usia yang terbilang cukup muda (14 tahun). Ia berkuasa di Kerajaan Aceh antara 1607 hingga 1636, atau hanya selama 29 tahun. Kapan ia mulai memangku jabatan raja menjadi perdebatan di kalangan ahli sejarah. Namun, mengacu pada Bustan al-Salatin, ia dinyatakan sebagai sultan pada tanggal 6 Dzulhijah 1015 H atau sekitar Awal April 1607.
Selama 30 tahun masa pemerintahannya (1606 - 1636 SM) Sultan Iskandar Muda telah membawa Kerajaan Aceh Darussalam dalam kejayaan. Saat itu, kerajaan ini telah menjadi kerajaan Islam kelima terbesar di dunia setelah kerajaan Islam Maroko, Isfahan, Persia dan Agra.
Seluruh wilayah semenanjung Melayu telah disatukan di bawah kerajaannya dan secara ekonomi kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki hubungan diplomasi perdagangan yang baik secara internasional.
Rakyat Aceh pun mengalami kemakmuran dengan pengaturan yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yang dibuat oleh Iskandar Muda.
Masa kekuasaan Sultan Iskandar Muda tersebut ini dikenal sebagai masa paling gemilang dalam sejarah Kerajaan Aceh Darussalam. Ia dikenal sangat piawai dalam membangun Kerajaan Aceh menjadi suatu kerajaan yang Kuat, Besar, dan tidak saja disegani oleh Kerajaan-Kerajaan lain di nusantara, namun juga oleh dunia luar. Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan Terbesar di Dunia.
Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias sejak tahun 1612 hingga 1625.
Sultan Iskandar Muda juga sangat memperhatikan tatanan dan peraturan perekonomian kerajaan. Dalam wilayah kerajaan terdapat bandar transito (Kutaraja, kini lebih dikenal Banda Aceh) yang letaknya sangat strategis sehingga dapat menghubungkan roda perdagangan kerajaan dengan dunia luar, terutama negeri Barat. Dengan demikian, tentu perekonomian kerajaan sangat terbantu dan meningkat tajam.
Menurut tradisi Aceh, Sultan Iskandar Muda membagi wilayah Aceh ke dalam wilayah administrasi yang dinamakan Ulèëbalang dan Mukim, ini dipertegas oleh laporan seorang penjelajah Perancis bernama Beauliu, bahwa "Iskandar Muda membabat habis hampir semua bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru." Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa desa untuk mendukung sebuah masjid yang dipimpin oleh seorang Imam (Imeum). Ulèëbalang (Hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk dikelolanya sebagai Pemilik Feodal.
Tahun 1993, pada tanggal 14 September, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Iskandar Muda atas jasa dan kejayaannya membangun dasar-dasar penting hubungan ketatanegaraan dan atas keagungan beliau.
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Sultan_Asahan ,br>
http://www.tendasejarah.com/2013/09/sejarah-sultan-iskandar-muda-lengkap.html
Kesultanan Johor
Kesultanan Johor lama yang terkadang juga disebut Kesultanan Johor-Riau, didirikan di paruh pertama abad ke-16 oleh Sultan Melaka yang digulingkan, yang kemudian memerintah bersama dengan para ahli warisnya. Di antara kerajaan-kerajaan serta para penguasa Melayu, Johor merupakan salah satu dari kekuatan politik atau negara yang bersaing ketat untuk memantapkan perannya sebagai ahli waris Melaka; demikian pula ketika kawasan tersebut mulai dikuasai oleh kekuatan kolonial Eropa. Hinga akhir abad ke-16, penguasanya terkadang juga disebut “Kaisar dari Para Raja Melayu”.
Di puncak kemasyhuran dan kewibawaannya antara akhir abad ke-16 dan awal abad ke-18, kesultanan Johor-Riau menerima sumpah kesetiaan dari masyarakat yang tinggal di seluruh kawasan geografik yang mengesankan yang merentang bagian-bagian selatan Jazirah Melayu, Kepulauan Riau (termasuk Singapura masa kini), kepulauan Anambas, Tambelan dan kelompok pulau Natuna, kawasan di sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat-daya dan Siak di Sumatra tengah-timur. Selain itu, kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah oleh para penguasa Kampar, bendahara Pahang dan Terengganu adalah kawulanya. Di antara para sekutunya di awal abad ke-17, terdapat Champa yang kewibawaannya meliputi Vietnam selatan masa kini. Penguasa Champa sudah memeluk agama Islam dan menjalin hubungan resmi dengan Johor pada tahun 1606 atau sekitarnya; hubungan akrab tersebut dipertahankan selama beberapa dasa warsa.
Kompleksitas aneka ragam penduduknya dan juga rentang geografisnya telah membentuk ciri kesultanan Johor-Riau yang merupakan sebuah kekuatan politik yang luas dan juga menjelaskan dua segi yang khususnya menarik dalam konteks masa kini; pertama, politik kesultanan Johor-Riau rumit serta multi-polar, kendati hal itu dapat diperdebatkan. Ciri kekuatan politik atau negara Melayu dalam kurun waktu pra-modern adalah bahwa para penguasanya mencurahkan perhatian kepada masyarakatnya dan tidak pada lahan atau kawasan, dan struktur kesetiaan penduduknya bersifat mengalir, tidak tetap. Hal itulah yang dinilai sangat menantang oleh para pengamat Eropa untuk memahaminya. Oleh karena rasa kesetiaan di antara para penduduknya cair, maka terdapat banyak kawasan abu-abu di dalam sebuah rentang geografis negara, terutama di kawasan perbatasan: sudah menjadi rahasia umum bahwa para datuk dan maharaja memberi upeti serta menyatakan kesetiaan kepada lebih dari seorang maharja pada waktu yang sama. Dengan membaca cermat bahan-bahan yang tertulis dalam bahasa Belanda, maka kita dapat melihat bahwa telah muncul sebuah wilayah yang bermasalah antara Kompani (VOC) dengan Johor dalam dua dasawarasa pertama abad ke-18, yaitu menyangkut sebuah kawasan luas yang dikenal dengan nama Patapahan. VOC menyatakan bahwa setiap tahun menyampaikan upeti dan penghormatan kepada Raja Minangkabau di Sumatra, sementara sultan Johor bersitegang dan menyatakan bahwa penduduk Patapahan tunduk di bawah kekuasaannya.
Secara keseluruhan, kesultaanan Johor-Riau menjalin hubungan bersahabat dengan VOC sejak awal tahun 1600, dimulai dengan membuat sebuah persekutuan ad hoc antara Sultan Ala’udin Ri’ayat Shah III dengan laksamana Belanda Jacob van Heemskerk.(1567-1807) Johor merupakan salah satu di antara kekuatan-kekuatan Asia yang pertama kali mengutus sebuah misi diplomatik ke Republik Belanda di tahun 1603.Ketika tiga tahun kemudian para utusan kedutaan Johor itu kembali dengan selamat menumpang armada Laksamana Matelieff, dua buah perjanjian resmi diratifikasi antara Johor dan VOC di bulan Mei dan September 1606.
Menjelang akhir abad ke-17, terjadi pembunuhan pada tanggal 3 September 1699 atas Mahmud Shah II (1685-1699) yang berperilaku aneh , yang bersangkutan merupakan penguasa Johor terakhir dari garis keturunan Melaka. Atas nasehat paman almarhum sultan Mahmud, yaitu Tumenggung Muar, maka para orang kaya memutuskan untuk menyatakan sepupu Mahmud, yaitu Bendahara Abdul Jalil, untuk menduduki tahta Johor; beliau kemudian memerintah dengan nama Abdul Jalil Shah IV (memerintah 1699-1720). Namun, di beberapa kalangan di Johor, muncul kesangsian dan beberapa di antara mereka memanfaatkan peluang. Para orang laut yang tidak puas karena berpendapat bahwa pengangkatan bendahara menjadi sultan tidak dilakukan sesuai yang semestinya.[8] Orang Bugis yang sudah menetap di Johor dan menjadi semakin mapan di paruh kedua abad ke-17 selama peperangan di Jambi, mereka memanfaatkan kesempatan yang disodorkan oleh krisis pewarisan takhta dengan menuntut lebih banyak kekuasaan untuk Raja Muda Bugis (alias Yang di Pertuan Muda, “raja muda”) Ketidakpastian serta kemurungan yang mencuat akibat penetapan mantan bendara sebagai penguasa Johor yang baru, telah menimbulkan sejumlah kerusuhan yang semakin meningkatkan ketidak-pastian dan merupakan ancaman besar dari dalam di Johor-Riau. Selain dari itu, aksi angkatan laut Siam di lepas pantai Terengganu yang katanya ditujukan terhadap para perompak, telah membuat para pejabat Johor bersiap-siaga untuk bertindak dan juga karena dipicu oleh penguatan benteng-benteng (khususnya di Bintan dan sekitarnya). Timbul kekhawatiran bahwa Johor tidak lama lagi akan menjadi sasaran dalam kampanye angkatan laut baru dari Siam.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut mengarah kepada isi dokumen yang kita bahas sekarang. Di awal dasawarsa kedua abad ke-18, hubungan bersahabat yang sudah berlangsung lama antara VOV dengan Kesultanan Johor-Riau mendapat tekanan. Titik api yang langsung timbul dalam hubungan yang mengalami tekanan adalah penafsiran berbeda atas ayat 3 perjanjian VOC-Johor yang dimeterai tahun 1689.[10] Raja Muda menolak bahwa warga bebas Belanda dari Melaka diperbolehkan masuk ke kawasan Sungai Siak untuk berdagang, dan juga menolak kehadiran mereka di Patapahan. Ayat 4 dari perjanjian 1689 mengizinkan “kapal dari Melaka” untuk singgah dan berdagang di Patapahan dengan membayar pajak kepada shabandar Johor. Dari pihak Johor, mereka berpendapat bahwa ayat 3 menetapkan yang berhak untuk datang dan berdagang di Siak hanyalah untuk VOC, dan tidak untuk warga bebas Melaka, dan mereka juga menyatakan bahwa rakyat Patapahan adalah kawula Johor. VOC tidak sepakat dan mengatakan bahwa rakyat Patapahan membayar upeti kepada raja Minangkabau dan tidak kepada penguasa Johor. Ketegangan semakin memuncak di kedua pihak dan masing-masing pihak menyita kapal-kapal dagang dengan berbagai alasan. VOC sangat berkeinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan mengutus sebuah tim negosiasi ke Johor untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan tersebut dan untuk menegosiasikan sebuah perjanjian baru dengan Johor. Para utusan Belanda berangkat menuju Johor awal Januari 1713, membawa instruksi yang jelas dan tegas dari gubernu Belanda untuk memperoleh kebebasan masuk dan melakukan perdagangan bebas baik untuk VOC maupun untuk penduduk Melaka di Siak. Raja Muda sangat tersinggung, tidak hanya oleh kegigihan para utusan Belanda yang menghendaki negosiasi baru atas sejumlah ayat dalam perjanjian, tetapi beliau juga sangat terusik karena para utusan Belanda dengan gamblang memerlihatkan bahwa mereka tidak mau mengikuti tata cara diplomatik Melayu. Raja Muda mengeluhkan ungkapan-ungkapan yang pendek serta bahasa yang sangat menyinggung dalam surat-surat gubernur Melaka, dan untuk menutupi kedudukannya yang goyah selama bernegosiasi maka sejumlah pihak disalahkan termasuk penerjemah yang dikatakan tidak memahaminya.
Raja Muda juga tersinggung oleh Belanda tetapi perihal lain: pihak Belanda mulai memungut pajak dari kapal-kapal Johor di Melaka – menurut ayat 3 perjanjian 1689 mereka dengan tegas dibebaskan dari biaya-biaya semacam itu – dan Belanda juga telah menyita sebuah kapal Johor di lepas pantai Coromandel di India. Tindakan-tindakan seperti itu sangat menghina dalam kontkes kebudayaan Melayu karena bermakna bahwa pihak Belanda telah merendahkan nama atau nama baik, dan sebuah nama baik sangat penting untuk martabat raja dan merupakan pahala penting di alam baka.[12] Dalam laporan-laporan Belanda dikabarkan bahwa pihak Johor mencegah kapal-kapal Jawa berlabuh di Melaka, dan sebaliknya menyuruh mereka kembali ke pelabuhan Riau (Tanjung Pinang dewasa ini di pulau Bintan).
Hal ini, ditambah dengan keengganan bernegosiasi dengan pejabat-pejabat Belanda yang masih muda, mendorong Raja Muda untuk mengdakan negosiasi langsung dengan Batavia. Sebuah utusan resmi yang dipimpin Laksamana Seri Nara di Raja dari Johor tiba di Batavia pada tanggal 26 April 1713. Surat dari Abdul Jalil IV yang ditujukan kepada Gubernur-Jenderal Abraham van Riebeeck (1709-1713) diserahkan. Dalam surat tersebut sultan mengutarakan rasa hormatnya serta rasa kasihnya yang besar dan mendalam terhadap VOC dan mengingatkan kedua pihak pada hubungan timbal balik mereka yang sudah berlangsung lama dan berawal di permulaan abad ke-17. Sultan juga memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali menyatakan tafsirnya atas ayat 3 dalam perjanjian Johor-VOC 1689 dan menjelaskan bahwa hak untuk bebas masuk dan berdagang diberikan kepada orang Belanda di Siak sangatlah dibatasi dan hanya diperuntukkan bagi kompeni dan bukan kepada warga bebas atau penduduk Melaka. Kemudian ada masalah dengan kapal yang dicegat di Pesisir Coromandel di India. Pihak Belanda berjanji akan mengembalikan kapal beserta muatannya yang telah disita itu.
Sultan memertaruhkan sejumlah kepentingan yang sulit dan beliau paham benar tentang kedukannya yang sukar dalam negosiasi tersebut. Selain merupakan tawaran, maka pujiannya terhadap persahabtan dengan VOC sangat bertentangan dengan ancaman-anacaman yang dilontarkan sebelumnya oleh Raja Muda yang berusaha membuat sebuah perjanjian baru dengan pihak Perancis – salah satu musuh Republik Belanda selama Perang Pewarisan Tahta Spanyol (1701-1714). Sejak awal abad ke-18, Perancis telah mengonsolidasikan kepentingan mereka di kawasan sekitar Teluk Benggala, termasuk juga khususnya Tenasserim dan Kedah. Nampaknya, perdagangan dengan luar negeri di Raiu, tidaklah berkembang pesat pada waktu itu dan bahkan mungkin telah mendapat dampak buruk dari perang Eropa. Selain itu, bukan merupakan langkah bijak untuk menjauhkan Belanda ketika menghadapi kemungkinan penyerangan dari Siam terhadap Johor. Kedudukan beliau dalam negosiasi sangat rapuh dan hal itu tercermin dalam permohonannya untuk mendapat izin untuk menambah muatan beras ke Johor. Laporan Gubernut-Jenderal Van Riebeek kepada para Direktur VOC tertanggal 13 Januari 1713, menyatakan bahwa antara 20 hingga 30 kepal Jawa telah membawa muatan beras dan garam ke berbagai pelabuhan di Johor, termasuk Bengkalis dan Lingga.[15] Akan tetapi, permohonannya untuk muatan tambahan ditolak VOC dengan alasan bahwa terjadi petaka kelaparan di kawasan tersebut..Bengkalis dan, and Lingga.
- P. Borschberg, “Jacques de Coutre as a Source for the Early 17th Century History of Singapore, the Johor River, and the Straits”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 81.2 (2008), 90 note 97; Borschberg, The Singapore and Melaka Straits: Violence, Security and Diplomacy in the 17th Century, Singapore and Leiden: NUS Press and KITLV Press, 2010, 226, 323 note 155.
- M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, 139, menyatakan bahwa kewibawaan sultan Johor meliputi kawasan yang lebih kecil.
- Terkait Champa di awal abad ke-17, lihat pula I.A. Taveres Mourão, Portugueses em Terras do Dai-Viêt (Cochinchina e Tun Kim), 1615-1660, Macao: Instituto Português do Oriente and Fundação Oriente, 2005, 40-7.
- A.C. Milner, Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule. Tucson: University of Arizona Press, 1982, h. 6.
- Andaya, L.Y., The Kingdom of Johor, 1641-1728: Economic and Political Developments. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975, 222-223.
- Borschberg, The Singapore and MelakaStraits, 122.
- F.W. Stapel and J.E. Heeres, eds., “Corpus Diplomaticum Neërlando-Indicum. Verzameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten, van privilegiebrieven, aan hen verleend, enz.”, eerste deel (1596-1650), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië, 57 (1907): 45-47.
- Concerning this episode, see E. Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak. Batavia: Bruining & Wijt, 1870, hh. 47 dst.
- Andaya, The Kingdom of Johor, 217- 218. N
- etscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 46. Andaya, The Kingdom of Johor, 220-225.
- Andaya, The Kingdom of Johor, 226; terkait pencarian atau penentuanr nama oleh para penguasa Melayu, lihat A.C. Milner, Kerajaan, 104-6, dan Milner, The Malays. Oxford: Wiley-Blackwell, 2008, 66-7; also J.H. Walker, “Autonomy, Diversity, and Dissent: Conceptions of Power and Sources of Action in the Sejarah Melayu (Raffles MS 18)”, Theory and Society, 33.2 (2004), 213.
- W.Ph. Coolhaas, ed., Generale Missiven van Gouvverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, jld. VI (1698-1713). The Hague: Martinus Nijhoff, 1976, 901, report of Van Riebeck, etc. to the Heren XVII, 13 January, 1713.
- Andaya, The Kingdom of Johor, 227.
- W.Ph. Coolhaas, ed., Generale Missiven, jld. VI (1698-1713), 902. Peter Borschberg, “Surat dari Raja Johor, Abdul Jalil Shah IV (1699-1720), kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, 26 April 1713”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 7. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
Sumber:
https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/hartakarun/item/07/introduction
DATUK BELAMBANGAN, RAJA PERTAMA BATUBARA
Batubara adalah sebuah kabupaten di provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Wilayah Batubara didominasi oleh wilayah pesisir pantai yang terletak ditepi Selat Malaka. Wilayah Batubara baru menjadi kabupaten pada tahun 2006 setelah sebelumnya digabungkan dengan Kabupaten Asahan.
Negeri Batubara terbentuk disaat yang bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Batubara disekitar tahun 1676-1680. Sebelum Kerajaan Batubara didirikan diwilayah ini, bisa dibilang wilayah ini tidak memiliki penghuni tetap sehingga belum ada peradaban sebelum era Kerajaan Batubara.
Pada jaman dahulu, meskipun berada di wilayah timur Pulau Sumatera, perjalanan sejarah Batubara lebih berkaitan erat dengan Kerajaan Alam Minangkabau di wilayah barat Sumatera. Wilayah Batubara sangat strategis. Selain berada ditepian Selat Malaka, wilayah Batubara juga berbatasan dengan wilayah-wilayah makmur sejak jaman dahulu kala, seperti Asahan, Simalungun, Deli, dan Pematang Bedagai.
Jika mengacu pada tulisan sejarawan ternama, Hamka, yang menyebutkan bahwa kedatangan Islam ke Pulau Sumatera diawali pada abad ke-7, sedangkan penyebarannya mulai merata pada abad ke-12 atau ke-13, maka dipastikan bahwa Kerajaan Batubara berdiri setelah masa Hindu-Buddha dan pada masa Islam sudah menjadi agama utama di Sumatera.
Wilayah Batubara mulanya adalah salah-satu wilayah kekuasaan Kerajaan Simalungun yang menjadi bagian dari Kesultanan Asahan dan dibawahi oleh Kesultanan Aceh. Datuk Belambangan, yang tersasar ke Simalungun saat berburu, diundang sebagai tamu raja Simalungun dan tinggal lama di Simalungun. Beliau kemudian menikah dengan putri raja. Raja Simalungun lalu memberikan wilayah Batubara kepada Datuk Belambangan karena putri raja (istri Datuk Belambangan) sangat menyukai wilayah itu. Inilah mengapa pada jaman dahulu raja-raja kecil di wilayah Batubara meminta legitimasi kepada Yang Dipertuan Pagaruyung dari Kerajaan Alam Minangkabau di Pagaruyung dan kemudian kepada Kesultanan Siak (yang didirikan atas bantuan Kerajaan Alam Minangkabau) ketimbang kepada Kesultanan Aceh yang lebih dekat.
ASAL-USUL DATUK BELAMBANGAN
Raja Belambangan atau Datuk Belambangan adalah salah-satu putra raja Kerajaan Alam Minangkabau. Kerajaan Alam Minangkabau adalah kerajaan yang terletak dibagian barat Sumatera, dan pada masa itu pusat pemerintahannya berada di wilayah Pagaruyung, sehingga kerajaan ini juga kerap disebut Kerajaan Pagaruyung.
Dikatakan, ayah Datuk Belambangan adalah Raja Bujang. Raja Bujang adalah putra Yang Dipertuan Pagaruyung (penguasa utama Kerajaan Alam Minangkabau) saat itu, yaitu Raja Gamuyang. Raja Bujang dan ayahnya, Raja Gamuyang, adalah salah satu dari Tiga Raja Minangkabau (Rajo Tiga Selo) saat itu. Kerajaan Minangkabau saat itu memiliki sistem kerajaan yang unik, yaitu diperintah oleh tiga raja secara bersamaan tetapi memiliki tugas yang berbeda. Raja yang pertama dan utama adalah Raja Alam, atau sultan, yang bergelar Yang Dipertuan Pagaruyung. Raja Alam adalah kepala nagari (negara) yang mengurus pemerintahan. Raja Alam membawahi Raja Adat (mengurus peraturan adat kerajaan) dan Raja Ibadat (yang mengurus urusan keagamaan Islam). Raja Adat dan Raja Ibadat, yang membantu sultan mengurus kerajaan, adalah jabatan yang dipegang turun-temurun. Sistem Rajo Tiga Selo ini terus bertahan hingga meletusnya Perang Padri (1815).
Kerajaan Alam Minangkabau adalah salah-satu kesultanan yang paling berpengaruh di Sumatera, selain Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Inderapura. Jika dibandingkan dengan Kesultanan Aceh, yang diturunkan oleh Kesultanan Samudra Pasai, dan Kesultanan Siak Sri Idrapura, yang diturunkan dari Kesultanan Johor, Kerajaan Alam Minangkabau memiliki peradaban yang sudah terekam sejak masa Kerajaan Singasari dan Kerajaan Majapahit. Kerajaan Alam Minangkabau adalah kerajaan penerus Kerajaan Melayu Dharmasraya yang didirikan oleh Raja Trailokyaraja dari Wangsa Mauli pasca runtuhnya Kerajaan Sriwijaya akibat dilemahkan oleh serbuan Raja Rajendra Chola I (dari Kerajaan Koromandel, India). Kerajaan Melayu Dharmasraya adalah salah-satu kerajaan Sumatera yang tercatat namanya dalam Kitab Pararaton dan dalam berbagai relik dan prasasti yang berhubungan dengan Maharaja Kertanegara dan raja-raja Majapahit. Kerajaan ini jauh lebih tua dari Kerajaan Joseon di Korea, Kekaisaran Ming di Tiongkok, Kekaisaran Rusia, dan dinasti-dinasti Eropa yang kini berkuasa di Inggris, Perancis, dan sebagainya. Kerajaan Melayu Dharmasraya juga sangat terkenal hingga di mancanegara karena memiliki kebudayaan yang maju dan hasil bumi yang melimpah. Akibat perubahan iklim politik di Semenanjung Malaka, Kerajaan Melayu Dharmasraya lalu memindahkan ibukotanya dari wilayah pantai ke wilayah pedalaman Sumatera Barat. Masuknya agama Islam sangat mempengaruhi kebudayaan dan politik di Minangkabau. Lama-kelamaan kerajaan ini mengurangi pengaruh Buddhisme dan menggantinya dengan Islam termasuk dalam penamaan kerajaan, walau beberapa rajanya masih menggunakan nama-nama dari bahasa Sansekerta. Wangsa Mauli tidak berganti, tetapi nama kerajaannya berubah. Kerajaan Melayu Dharmasraya lalu diubah namanya menjadi Kerajaan Alam Minangkabau yang rajanya dipanggil sultan.
Dengan latar belakang seperti itu, tentulah raja Simalungun, yang menjadi tuan rumah saat Datuk Belambangan tiba di Simalungun, merasa sangat terhormat saat menerima Datuk Belambangan sebagai tamu mereka.
PERBURUAN YANG GAGAL
Sebelum pangeran dari Kerajaan Alam Minangkabau ini menjadi penguasa negeri Batubara, beliau tinggal dan dididik didalam istana Kerajaan Alam Minangkabau, Sumatera Barat. Usai mempelajari dan menguasai semua ilmu yang wajib diketahuinya, beliaupun menghadap ayahnya, Raja Minangkabau. Datuk Belambangan memohon pada ayahnya agar diijinkan meninggalkan istana untuk pergi berburu rusa untuk melengkapi kebanggaannya sebagai seorang pangeran. Raja mengabulkan permohonan putranya, dan berangkatlah Datuk Belambangan bersama dengan serombongan pengawal, juga beberapa sahabatnya.
Rombongan sang pangeran meninggalkan negerinya dengan menyusuri pesisir pantai, lalu melintasi hutan belantara dan wilayah pegunungan. Namun, belum ada rusa yang terlihat. Walau mereka sudah kelelahan tapi pantang bagi Datuk Belambangan dan rombongannya untuk pulang sebelum mendapatkan hasil buruan.
Akhirnya, terlihatlah oleh Datuk Belambangan, seekor rusa. Datuk Belambangan dan rombongannya memburu rusa itu dan berusaha menangkapnya. Namun, rusa itu mampu melarikan diri sehingga menyebabkan Datuk Belambangan dan rombongannya terpaksa terus melanjutkan peburuan. Perburuan itu membuat Datuk Belambangan dan rombongannya tidak mengetahui waktu dan tempat mereka.
Tiba-tiba, terlihatlah oleh mereka sebuah perkampungan. Oleh orang yang mereka temui dijalan, mereka mendapat informasi bahwa mereka berada di Negeri Simalungun. Setelah mengetahui bahwa yang dihadapan mereka adalah seorang pangeran, maka dihantarkanlah Datuk Belambangan dan rombongannya ke istana salah-satu Raja Simalungun, kemungkinan dari klan Damanik atau klan Sinaga.
Raja Kerajaan Simalungun menyambut Datuk Belambangan dan rombongannya dengan gembira dan mendengar dengan penuh minat mengenai perkembangan Kerajaan Pagaruyung termasuk kabar dari Raja Pagaruyung dan seisi istana, dan juga tentang cerita perburuan Datuk Belambangan. Setelah mendengar cerita tentang perburuan yang gagal, raja Simalungun meminta agar Datuk Belambangan dan rombongannya tinggal sementara waktu di Negeri Simalungun. Tawaran itu disetujui oleh Datuk Belambangan dan dinilai bijak oleh rombongannya.
Keberadaannya Datuk Belambangan di Simalungun berawal sebelum tahun 1680.
MENJADI ANGGOTA KELUARGA KERAJAAN SIMALUNGUN
Datuk Belambangan tinggal cukup lama di Simalungun. Rupanya beliau menaruh hati pada putri raja Simalungun. Datuk Belambangan lalu menghadap Raja Simalungun dan mengutarakan perasaannya, juga meminang putri raja untuk dijadikan istri. Raja Simalungun rupanya juga berharap agar pangeran dari Pagaruyung itu dapat menjadi menantunya. Rajapun menikahkan putrinya dengan Datuk Belambangan. Rakyat Simalungun bersuka-cita, dan rombongan pangeran juga memandang pernikahan itu baik adanya.
Putri raja Simalungun bermarga “Damanik”, sesuai dengan marga ayahnya. Menurut kebiasaan Simalungun saat itu Datuk Belambangan juga harus memakai marga dari Simalungun. Maka, raja Simalungun memberikan marga pada Datuk Belambangan yaitu marga Sinaga.
Pemberian marga Sinaga pada Datuk Belambangan ini menunjukkan bahwa seluruh raja di Simalungun saat itu sangat menghormati Datuk Belambangan dengan latar belakang Pagaruyung-nya, sebab saat itu marga Sinaga adalah salah satu marga tertinggi disana.
Sistem aristokrasi di Simalungun saat itu sangat ketat dan mewajibkan semua rakyat memiliki marga yang mengikuti marga raja dimana mereka tinggal. Ada empat kerajaan kecil di Simalungun yang juga dipimpin oleh empat raja dengan marga yang berbeda, yaitu Damanik, Saragih, Sinaga, dan Purba. Menurut catatan-catatan tua Simalungun, daerah Simalungun, adalah kerajaan tertua di Sumatera Timur. Marga Damanik adalah marga tertua dan yang paling pertama datang di Simalungun (Proto-Simalungun), yang diperkirakan berasal dari Nagore, India Selatan. Leluhur klan ini tiba di Simalungun pada sekitar abad ke-5 M setelah sebelumnya menempuh perjalanan dari India Selatan melewati Myanmar, menyebar ke Siam dan juga membawa orang-orang dari Siam, kemudian menuju Malaysia, hingga kemudian tiba di Sumatera. Setibanya di Simalungun, klan Damanik mendirikan Kerajaan Nagur (sesuai nama wilayah asal di India).
Kerajaan Nagur ini adalah nama lama wilayah Simalungun. Klan Saragih adalah marga kedua datang di Simalungun, yang juga diperkirakan berasal dari Nagore, India Selatan. Leluhur klan ini tiba di Simalungun pada sekitar abad ke-5 M. Setibanya di Simalungun, pemimpin klan Saragih bersama dengan pemimpin-pemimpin klan Purba dan klan Sinaga mengabdi pada Kerajaan Nagur, yang didirikan oleh klan Damanik, sebagai panglima. Ketiga panglima ini menjadi menantu Raja Damanik, dan raja pun menyerahkan wilayah untuk diatur oleh ketiga menantunya ini yang kemudian menjadi Kerajaan Banua Sobou (dipimpin oleh klan Saragih) yang kemudian dikenal dengan nama “Kerajaan Raya” atau “Kerajaan Pematang Raya”, Kerajaan Banua Purba (dipimpin oleh klan Purba) yang kemudian dikenal dengan nama “Kerajaan Silou” atau “Kerajaan Dolok Silou”, dan Kerajaan Saniang Naga (dipimpin oleh klan Sinaga) yang kemudian dikenal dengan nama “Kerajaan Batangiou” dan kemudian berganti lagi menjadi “Kerajaan Tanoh Jawa”. Kerajaan Nagur yang didirikan klan Damanik adalah pendahulu Kerajaan Siantar.
Klan Sinaga sebenarnya juga datang dari India bersama dengan tiga klan lainnya pada abad ke-5 M. Tetapi, menurut cerita turun-temurun di Simalungun, klan Sinaga lama yang mendirikan Kerajaan Saniang Naga (dikenal juga dengan nama Kerajaan Batangiou) dikalahkan oleh keturunan seorang jenderal Jambi yang tiba pada abad ke-14 saat Kerajaan Majapahit menyerbu Sumatera. Setelah klan Sinaga lama ini kalah maka keturunan jenderal Jambi, yang juga mengaku bernama Sinaga, lalu mendirikan Kerajaan Tanoh Jawa.
Keempat kerajaan ini sepakat tidak saling menyerang satu sama lain dalam suatu perjanjian yang bernama “Harungguang Bolon”. Untuk membedakan keluarga bangsawan dan keluarga rakyat, maka marga yang diambil oleh masing-masing penduduk akan digolongkan ke beberapa golongan, dengan empat marga itu tetap menjadi marga utama dan yang statusnya paling tinggi. Jika saat itu Datuk Belambangan diberi marga dari salah-satu empat marga tinggi itu maka artinya beliau diakui sebagai salah-satu kerabat raja.
Mengenai siapakah raja yang menerima Datuk Belambangan di istananya tidak diketahui pasti, tetapi ada beberapa kemungkinan jika mengacu pada adat-istiadat di Simalungun saat itu. Mungkin Datuk Belambangan pertama kali bertemu dan tinggal di istana raja dari klan Sinaga, sebab marga Sinaga-lah yang diberikan pada Datuk Belambangan, sedangkan istrinya berasal dari marga Damanik. Tapi, bisa jadi juga Datuk Belambangan sejak awal kedatangannya di Simalungun sudah tinggal di istana raja dari klan Damanik dan sering bertemu dengan putri raja Damanik. Karena sebisa mungkin setiap wanita Simalungun harus menikah dengan pria Simalungun atau membawa marga dari Simalungun, dan juga pernikahan se-marga adalah tabu, sedangkan Datuk Belambangan belum memiliki marga dari Simalungun, maka raja Simalungun dari klan Damanik meminta raja dari klan Sinaga untuk menjadikan Datuk Belambangan sebagai anak angkatnya sehingga Datuk Belambangan bisa mendapatkan marga Sinaga, yang saat itu merupakan marga bangsawan tinggi di Simalungun. Menurut permargaan di Simalungun, Keturunan Datuk Batubara yang menikah dengan pria marga Damanik dari Simalungun berada dalam klan Damanik Bariba.
Pernikahan Datuk Belambangan dan keberadaannya di Simalungun terjadi sekitar tahun 1676-1680 (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 28, 2010).
Tidak lama setelah menikahi istrinya dari klan Damanik, istri Datuk Belambangan-pun hamil. Saat itu, istrinya sangat ingin melihat pantai. Datuk Belambangan lalu menghadap kepada ayah mertuanya dan mengutarakan permintaan istrinya yang ingin sekali melihat laut dan pantai. Sang raja yang paham betul bahwa putrinya sedang mengidam, memberi ijin pada mereka untuk pergi ke daerah pesisir pantai, dan bahkan memberikan segala kebutuhan putri dan menantunya beserta rombongan mereka seperti perbekalan dan juga pengawal. Datuk Belambangan dan istrinya pun berangkat ke pantai yang masih berada dalam wilayah Simalungun, dan yang dianggap paling indah. Rombongan Datuk Belambangan dan istrinya yang terdiri dari orang-orang asal Minangkabau dan Simalungun kemudian berangkat menuju ke pesisir pantai yang menjadi bagian dari wilayah yang kini dikenal sebagai Negeri Batubara.
Setibanya mereka di wilayah Batubara, mereka langsung mendirikan pemukiman di tepi sungai didekat muara. Pemukiman yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka ini dinamakan “Kuala Gunung” (Muhamamad Yusuf Morna, Sejarah Batubara Dari Masa Ke Masa halaman 29, 2010). Datuk Belambangan bermaksud untuk membuat pemukiman ditempat itu sebagai tempat tinggal tetapnya dan juga ingin membangun daerah itu menjadi sebuah negeri baru. Sang istri juga rupanya mendukung keinginan suaminya. Seluruh rombongan-pun mendukung keinginan dari Datuk Belambangan. Datuk Belambangan lalu mengutus utusan kepada Raja Simalungun untuk menyampaikan keinginan Datuk Belambangan dan istrinya agar bisa menetap didaerah baru itu. Usai mendengar pesan dari putri dan menantunya, rajapun memanggil para penasehatnya dan meminta pendapat para kaum cendekia dinegerinya. Para penasehatnya memandang bahwa keinginan dari putri dan menantu raja adalah baik dan tidak akan menyusahkan Kerajaan Simalungun. Setelah mendengar masukan dari para penasehatnya, maka raja Simalungun lalu mengirim pesan kepada putri dan menantunya bahwa sang raja menyetujui permohonan putri dan menantunya. Raja Simalungun lalu mengirimkan perlengkapan dan semua yang dibutuhkan oleh putri dan menantunya beserta rombongan mereka melalui utusan yang dikirimnya, dan juga mengirim serta rakyatnya yang tertarik untuk menetap dinegeri baru itu dan bersedia menjadi rakyat dari Datuk Belambangan.
Menurut legenda, tidak lama setelah titah pembangunan negeri baru itu diucapkan oleh Datuk Belambangan, dan juga ketika pembangunan itu masih terus dilaksanakan, berkumpulah rakyat negeri yang baru itu dan menghadap Datuk Belambangan. Rakyatnya itu meminta Datuk Belambangan itu menjadi raja dinegeri yang baru itu.
Entah bagaimana Kedatuan Batubara bisa resmi terbentuk, tetapi yang pastinya berdirinya kedatuan baru itu sudah direstui atau malah diprakarsai oleh pihak Simalungun, dengan restu dari Kesultanan Asahan sebagai kesultanan yang membawahi wilayah Simalungun. Cerita-cerita rakyat yang beredar menceritakan bahwa raja Simalungun mendukung penuh pendirian kedatuan baru itu dan merestui Datuk Belambangan sebagai penguasa Batubara.
Wilayah baru ini dinamakan “Batubara” sebab menurut cerita rakyat, pada awal pembangunan pemukiman dan awal pemerintahan di wilayah itu, rakyat menemukan banyak sekali batu-bara. Dalam legenda diceritakan bahwa seorang hulubalangnya yang ditugasi untuk mengawasi penggalian sumur, datang dan berteriak sambil menggenggam batu yang hitam warnanya, sambil berkata, “ini batu yang bisa menyala dan membara, batu bara....” Bukan hanya sebongkahan batu saja, tapi ditemukan banyak sekali batu hitam yang serupa dihampir disetiap sumur yang digali. Legenda-pun merekam titah Datuk Belambangan, “Mari kita namakan saja negeri ini sebagai Negeri Batu Bara, karena ada banyak batu yang bisa membara yang ditemukan disini,” dan mengumumkan pada rakyatnya bahwa nama negeri itu adalah Negeri Batubara.
Wilayah Kuala Gunung, yang menjadi wilayah pemukiman pertama, lalu menjadi pusat pemerintahan pertama kedatuan di Batubara dan baru berubah setelah kematian Datuk Belambangan.
Rombongan Datuk Belambangan yang mendatangi wilayah Simalungun pada sekitar tahun 1676-1680 diakui sebagai rombongan pertama. Datuk Belambangan tinggal lama di wilayah Simalungun dan Batubara, dan semasa itu beliau belum pernah kembali lagi ke kampung halamannya di Pagaruyung. Tidak begitu lama setelah Kedatuan Batubara didirikan secara de facto, istri Datuk Belambangan memasuki waktu bersalin. Sang permaisuri berhasil melahirkan seorang bayi perempuan. Dikatakan bahwa putri Datuk Belambangan ini tumbuh menjadi gadis yang cantik, hingga kemudian utusan-utusan ayahnya dari Pagaruyung tiba.
Tidak diketahui kapan pastinya rombongan kedua ini tiba. Jika mengacu pada usia akil balig putri Datuk Belambangan, sesuai dengan tradisi pada masa itu, yang menginjak usia 16-18 tahun saat rombongan kedua itu tiba di Simalungun dan kemudian di Batubara, maka itu artinya Datuk Belambangan menerima rombongan kedua yang adalah utusan-utusan ayahnya sekitar tahun 1692-1698.
Dalam rombongan kedua dari Pagaruyung itu, selain ada beberapa tetua dan juga hulubalang, turut serta juga empat pemuda bangsawan dari Pagaruyung. Keempat pemuda ini termasuk dalam kelompok yang tidak ikut kembali ke Pagaruyung mengikuti kepulangan utusan-utusan dari rombongan kedua dan beberapa anggota rombongan pertama yang dulu berburu bersama-sama dengan Datuk Belambangan sebab beberapa orang dari rombongannya dulu rupanya begitu rindu pada kampung halamannya sehingga mereka memutuskan untuk pulang ke Pagaruyung. Ada beberapa orang dari rombongan kedua, termasuk keempat pemuda itu, yang diperintahkan tinggal oleh pemimpin rombongan kedua dengan maksud membantu Datuk Belambangan dan membangun Kedatuan Batubara. Keempat pemuda itu adalah Datuk Jenan, Datuk Paduka Raja, Datuk Panglima Muda, dan Datuk Ayung.
Keempat pemuda dari Pagaruyung yang tinggal dinegeri Batu Bara mulai melakukan tugas-tugas mereka untuk menjadi abdi raja. Karena mereka adalah orang-orang kepercayaan raja dan juga kerabat dekat Baginda Raja Batu Bara, maka Datuk Belambangan menerima lamaran mereka saat mereka meminang putri-putri raja. Karena Datuk Belambangan hanya memiliki seorang putri maka dia mengangkat tiga orang putri sebagai anaknya dan menikahkan mereka dengan para pemuda itu. Agar tidak terjadi perebutan kekuasaan di wilayahnya, seperti yang sebelumnya terjadi di Pagaruyung, Datuk Belambangan membagi wilayah kekusaannya menjadi empat wilayah, sesuai dengan jumlah anak-anaknya, dan menyerahkan pemerintahan empat wilayah itu kepada menantu-menantunya. Sepeninggal Datuk, pusat pemerintahan-pun sudah tidak berada di Kuala Gunung lagi melainkan terbagi di empat wilayah yang sudah dibagi tadi.
Datuk Belambangan meninggal diusia tua dan dimakamkan di Kuala Gunung. Letak makamnya berada di Kecamatan Lima Puluh, Batubara, Sumatera Utara. Makamnya dinamakan “Kubah Keramat Tok Batubara”.
Sumber: http://deleigeven.blogspot.com/2017/06/datuk-belambangan-raja-pertama-batubara.html
- Baca Juga ARTIKEL TERKAIT LAINNYA:
Comments
Post a Comment